Archive for ‘photography writting’

June 26, 2013

Thilly Weissenborn, perempuan fotografer pertama di Hindia Belanda

Thilly

Oleh Ridwan Hutagalung (Mooibandoeng)

Hingga saat ini rasanya informasi tentang Thilly Weissenborn, perempuan fotografer pertama di Hindia Belanda ini, masih sangat sedikit tersedia. Di media internet pun tidak mudah mencari informasinya. Karya-karya fotonya memang banyak beredar, terutama di situs Tropen Museum, tapi tidak informasi yang berkaitan dengan manusianya.

Dari yang sedikit itu, mungkin hanya halaman ini saja yang cukup banyak bercerita tentang Thilly: http://collectie.tropenmuseum.nl/default.aspx?ccid=P8095. Berikut ini saya tulis ulang berdasarkan terjemahan oleh @yoyen.

Thilly dilahirkan tahun 1889 di Kediri, Jawa Timur, dengan nama Margarethe Mathilde Weissenborn. Tentang tahun kelahirannya ini, ada juga yang mengatakan ia dilahirkan di Surabaya pada 22 Maret 1883. Pasangan orang tuanya, Herman Weissenborn dan Paula Roessner, adalah keturunan Jerman yang sudah menjadi warga negara Belanda. Mereka mempunyai perkebunan kopi di Kediri.

Pada tahun 1892, Paula Roessner kembali ke Den Haag, Belanda, membawa serta Thilly dan kakak-kakaknya, dua perempuan dan dua laki-laki. Ayahnya menyusul setahun kemudian. Pada tahun 1897 ayah Thilly dan kakak tertuanya pindah ke Tanganyika dan menjadi pengusaha perkebunan di sana.

Selama di Den Haag, Thilly belajar fotografi kepada kakaknya, Else, yang membuka studio fotografi di Den Haag pada tahun 1903. Thilly dan kakaknya, Theo, kembali ke Hindia Belanda dan tinggal bersama kakaknya yang lain, Oscar, di Bandung. Kemudian Thilly ke Surabaya mengikuti Theo yang mendapatkan pekerjaan di sana.

Thilly juga mendapatkan pekerjaan di sebuah studio foto, Atelier Kurkdjian. Di sini Thilly bekerja di bawah pengawasan fotografer Inggris yang berbakat, G.P. Lewis. Atelier Kurkdjian dimiliki oleh seorang fotografer keturunan Armenia, Onnes Kurkdjian. Studio ini mempekerjakan 30 orang pegawai dan Thilly adalah satu dari dua perempuan yang bekerja di sana.

Atelier Kurkdjian banyak membuat karya fotografi yang sekarang menjadi sangat berharga karena menyimpan informasi masa lalu yang dianggap penting. Sejumlah koleksi studio foto ini diterbitkan sebagai bagian panduan wisata oleh biro pariwisata Hindia Belanda pada tahun 1922 dengan judul Come to Java.

Pada tahun 1917, Thilly pindah dan menetap di Garut, di tengah-tengah wilayah pergunungan yang beriklim sejuk. Di kota ini, Thilly dipercaya untuk mengelola G.A.H. Foto Atelier Lux milik pendiri N.V. Garoetsche Apotheek en Handelsonderneming yang juga fotografer amatir yang fanatik, Dr. Denis G. Mulder. Pada tahun 1920, Mulder pindah ke Bandung dan Thilly secara resmi mengambil alih Foto Atelier Lux serta mengganti namanya menjadi hanya Foto Luxdengan alamat di Societeitstraat 15 (sekarang Jl. Ahmad Yani). Pada tahun 1930 Thilly meresmikan perusahaannya sebagai N.V. Lux Fotograaf Atelier.

Thilly Weissenborn mengembangkan kemampuan tekniknya dalam bidang fotografi potret dan arsitektur-interior. Foto-foto lansekap serta human interest-nya menarik perhatian banyak orang. Selama lebih dari 20 tahun Thilly tinggal di Garut sampai kedatangan Jepang membuatnya harus mendekam dalam kamp interniran di Karees, Bandung, sejak tahun 1943.

Setelah Perang Dunia II dan Kemerdekaan RI, kota Garut termasuk yang cukup banyak mengalami kerusakan. Pada tahun 1947, Foto Lux milik Thilly sudah dalam keadaan rata dengan tanah. Semua koleksi foto dan studionya ikut hilang dan rusak.

Pada tahun 1947 itu pula Thilly menikah dengan Nico Wijnmalen dan menetap di Bandung. Kedua kawan sejak lama ini menikah dalam usia tua, masing-masing 58 tahun dan 60 tahun. Belum ada informasi di mana ia tinggal bersama suaminya dan bagaimana kelanjutan pekerjaannya sebagai fotografer. Tahun 1956, Thilly Weissenborn kembali ke Belanda hingga meninggal di Baarn, pada 28 Oktober 1964.

Koninklijk Indische Tropenmuseum mempunyai foto album (koleksi nomor 270) yang menurut perkiraan kurator adalah album utamanya di Foto Lux. Di album utama ini foto-foto Weissenborn ditempel supaya calon pembeli dapat melihat dan memesan. Masa itu hal yang biasa untuk membuat album utama dengan bahan yang profesional. Semua fotonya dicetak menurut proses gelatin perak dengan sinar alami. Dan di atas foto-foto itu terdapat tanda: Foto Lux, Garut.

Selama berkarya sebagai fotografer, Thilly telah membuat rekaman foto di banyak tempat di Hindia Belanda, di antaranya Sukabumi, Tasikmalaya, Bogor, dan Bandung. Karya-karya fotonya di Bali termasuk yang mendapatkan apresiasi tinggi. Selain itu, Thilly juga membuat foto di Pasuruan dan daerah-daerah lain di Jawa Timur hingga Bali dan Flores. Sejak tinggal di Garut, banyak sekali foto pemandangan dan suasana sekitar Garut yang telah dibuatnya.

Kumpulan foto-foto karya Thilly Weissenborn diterbitkan dalam buku Vastgelegd voor later, Indische Foto’s (1917 – 1942) yang disusun oleh salah satu kakak perempuannya, Ernst Drissen.

* Tulisan yang diposting di blog ini sudah mendapat izin dari penulis yang bersangkutan

Advertisement
June 24, 2013

Photography is dead

Ali Mecca

Oleh Ali Mecca

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa saat ini fotografi merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, kepopuleran fotografi menyeruak ke setiap lini kehidupan masyarakat, melahirkan era yang kita kenal sebagai era budaya visual. Ia hadir di ruang-ruang publik, di kaca angkutan kota, papan reklame, daftar menu makanan, jejaring sosial, bahkan bantal tidur. Fungsinya macam-macam sebagai alat kampanye politik, representasi identitas sosial, iklan prodak, iklan layanan sosial, hingga iklan fotografi itu sendiri (lihat; iklan rokok tentang fotografer perang).

Fotografi sebagai lifestyle

Bersamaan dengan kemajuan ekonomi dan peningkatan kemakmuran di Indonesia, fotografi ikut tumbuh dan berkembang dengan cara yang masif. Akan tetapi, hal ini tidak ditunjang dengan tumbuhnya institusi-institusi pendidikan yang mengajarkan keilmuan fotografi secara komprehensif. Perbincangan fotografi masih berkutat pada masalah teknis dan estetis sahaja, belum menyentuh pada korelasinya dengan sejarah, sosial, budaya, atau filsafat. Jikapun ada, itu masih sekedar riak-riak kecil saja dan melalui komunitas atawa institusi-institusi yang itu-itu saja. Alhasil, dapatlah saya katakan bahwa saat ini fotografi di Indonesia hanyalah lifestyle, ia sekedar komoditi untuk pemuas dahaga masyarakat konsumtif kita yang memaknai medium kamera sebagai simbol kemapanan atau sekadar untuk keren-kerenan.

Pendapat ini bukan tanpa bukti, kita lihat kekacauaan perayaan Waisak di Candi Borobudur beberapa waktu lalu (25/05), sejumlah biksu mengeluhkan banyaknya fotografer yang tetap memotret ketika prosesi doa tengah berlangsung, bahkan dengan mengambil jarak pemotretan yang sangat dekat dan disertai lampu flash. Kejadian ini membuka mata kita bahwa perayaan waisak sudah tidak dimaknai sebagai ritual yang sakral, tetapi hanya dianggap sebagai objek wisata yang dapat dipotret-dieksploitasi sekehendak jari melepas tombol rana. Hal yang tentu saja telah melukai banyak pihak, khusunya umat Buddha yang menjalankan prosesi ibadah tersebut.

Beragam tanggapan di berbagai jejaring sosial bermunculan terkait mencuatnya isu memotret perayaan Waisak tersebut. Melalui akun twitternya, pengelola Candi Borobudur, @BorobudurPark menyatakan “Memotret acara waisak juga tidak dilarang. Akan tetapi banyak fotografer yang tidak tahu sopan santun”. Sementara itu, para pegiat fotografi pun ikut menyayangkan, mereka menyuarakan keprihatinan akan rendahnya etika memotret yang dimiliki oleh “fotografer-fotografer” di Indonesia. Nilai etika, toleransi, dan empati telah digadaikan oleh para “fotografer” ini demi mengejar sebuah tujuan, yakni estetika.

Perkembangan modernisasi dan industrialisasi menyebabkan masyarakat kontemporer kita lebih menyenangi gaya ketimbang makna, lebih menghargai penampilan ketimbang kedalaman, lebih mengejar kulit ketimbang isi (Piliang, 2010:38). Pernyataan ini memiliki makna bahwa tabiat masyarakat kita pada saat ini memang senang melakukan pencitraan sebagai representasi identitas sosialnya. Dalam konteks fotografi dan budaya visual semua orang ingin dilihat sebagai fotografer, namun pemahaman akan ilmu fotografinya masih sekedar di “permukaan”. Salah siapakah ini?

Estetika dan Etika Perwujudan Diri

Dalam studi filsafat, pada awalnya estetika digolongkan dalam persoalan nilai, atau filsafat tentang nilai, sejajar dengan nilai etika. Namun, seiring dengan perkembangannya pada abad-20, filsafat keindahan ini mulai bergeser ke arah keilmuan. Studi estetika yang mulanya merupakan bagian dari pemikiran umum seorang filsuf pada akhirnya mengkhususkan diri pada perbincangan karya-karya seni saja, dengan tetap menggunakan metode spekulatif yang diperkuat oleh ciri empiris. (Sumardjo, 2000:26).

Pada dasarnya, estetika ilmiah bekerja dengan bantuan ilmu-ilmu lain, seperti psikologi, sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya. Dalam praktek fotografi yang tujuannya adalah “keindahan”, seharusnya estetika ilmiah ini dapat dijadikan sebagai dasar ilmu oleh para pelaku fotografi di Indonesia, karena ia berfungsi sebagai sebuah landasan yang menjadi fundamen dalam proses berkarya. Inilah tugas berat yang diemban para akademisi fotografi dari setiap institusi pendidikan untuk memberikan pemahaman tersebut. Jika fotografi hanya dipandang sebagai produk ekonomi dan penghasil produk ekonomi, maka nilainya menjadi rendah. Sebagaimana yang dikatakan Kattsof, nilai kegiatan akali jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai barang-barang ekonomi, karena dalam dirinya sendiri kegiatan akali sudah mengandung kebaikan, jauh lebih bersifat produktif dibandingkan dengan barang-barang ekonomi (Kattsof, 2004: 358).

Ketika dihadapkan pada persoalan seperti diatas, seharusnya kita sudah memiliki kesadaran ilmiah untuk menentukan pendekatan apa yang selanjutnya dilakukan, karena kesadaran ilmiah akan membawa kita pada penggalian yang lebih mendalam lagi. Pendekatan ilmu Antropologi adalah hal yang paling relevan dalam permasalahan ini. Metode penelitiannnya yang dikenal dengan istilah etonografi dapat dipergunakan untuk mengkaji persoalan budaya macam perayaan Hari Waisak. Layaknya seorang peneliti sosial, etnografi akan membantu fotografer mendapatkan pemahaman yang sistematik mengenai aktivitas atau gejala kebudayaan suatu masyarakat. Pada akhirnya kita akan mendapatkan pemahaman yang dalam tentang subjek yang akan kita potret, lalu kesadaran etika berfotografi akan tumbuh seiring dengan kedalaman pemahaman tersebut.

Akan tetapi, tidak usahlah terlalu muluk dengan meminta para “fotografer” ini menggunakan metode penelitian etnografi sebelum melakukan aktivitas fotografinya, karena metode tersebut memang membutuhkan waktu yang cukup lama, berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Riset kecil-kecilan dengan memanfaatkan berbagai artikel di internet pun kiranya sudah cukup guna mendapat gambaran umum tentang perayaan hari suci agama Buddha ini. Harapannya adalah, agar kejadian-kejadian seperti ini tidak berulang terus menerus di setiap tahun, di setiap ritual keagamaan yang lain. Selain itu langkah tersebut diharapkan juga dapat memperluas wacana fotografi sebagai ilmu pengetahuan, sehingga fotografi indonesia tidak lagi hanya mempersoalkan underover, tajam-tidak tajam, “indahtak indah, CanonNikon, dst, melainkan diperbincangkan lebih luas lagi melalui relasinya dengan sejarah, kondisi sosial, kebudayaan, dan filsafat.

Fotografi telah mati?

Pada masa-masa awal kelahiran fotografi yang dikembangkan oleh Joseph Nichore Nicephore Niepce (1765-1833), Louis Jacques Mande Daguerre (1787-1851), dan William Henry Fox Talbot (1800-1877), fotografi dianggap sebagai ancaman utama oleh para pelukis realis dan naturalis, karena ketepatannya yang sangat tinggi dalam memproduksi realitas. Seorang pelukis realis asal Perancis bernama Paul Delaroche lalu berkata “Mulai hari ini, lukisan telah mati”. (Ajidarma, 2002: 2)

Meskipun dalam konteks yang berbeda, namun masihlah dapat dipertanggungjawabkan relevansinya apabila saya meminjam kalimat dari Paul Delaroche untuk menyoroti perkembangan fotografi di Indonesia saat ini, bahwa “Mulai hari ini, Fotografi telah mati!”. Fotografi mati secara gagasan, fotografi mati secara etika, terkubur di bawah estetika yang dangkal.

Daftar Pustaka

Ajidarma, Seno Gumira. Kisah Mata, Galang Press, Yogyakarta, 2001

Kattsof, Louis O. Pengantar Filsafat, Penerbit Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta. 2004

Sumardjo, Jakob. Filsafat Seni, Penerbit ITB, Bandung. 2000

Piliang, Yasraf Amir. Dunia Yang aDilipat, Pustaka Matahari, Bandung. 2010

* Tulisan yang dimuat di blog ini atas seizin penulis yang bersangkutan

June 12, 2013

REALITA FOTOGRAFI : Satu Cermin balik Dunia Fotografi kita

firman ichsan

(c) Rodchenko

Oleh Firman Ichsan

Boleh jadi pengakuan pada fotografi sebagai seni di Asia Tenggara mencapai puncaknya, ketika peserta dengan karya fotografi pada ASEAN art Awards 2002 menjadi pemenang utama. Kenyataan baru ini agaknya akan menyebabkan semakin banyak yang tergugah dan tertarik untuk membahas tentang apa dan bagaimana fotografi ini sebagai media seni, dan tentu kelanjutannya di pasar benda seni.

Dari bentuk bentuk senirupa yang sudah dikenal sejak zaman republik budak Yunani dulu dengan istilah the 7 arts; tari, musik, teater, lukis, patung, literatur dan arsitektur. Fotografi baru lahir jauh kemudian dalam awal zaman industri yang kapitalistis, tepatnya tahun 1835 ketika Niepce dan Daguerre untuk pertama kalinya memperkenalkan camera.

Lahir di zaman gejolak filsafat, ideology, tehnologi dan psikologi, dari semula fotografi sudah ditantang akan pertanyaan; apakah fotografi itu seni atau bukan. Pada saat yang bersamaan ia juga dinyatakan sebagai perekam realita yang tak tertandingi lagi, padahal saat itu hasil jadi fotografi berada diatas plate dan berwarna logam. Sekarang,melalui perjalanan waktu yang cukup panjang, memang tidak ada lagi keraguan untuk mempertanyakan apakah fotografi bagian dari seni rupa atau bukan. Namun demikian tidak banyak yang sadar bahwa pengakuan fotografi sebagai bentuk seni terutama di pasar belum lama terjadi. Cara kerja yang mekanis dan tanpa sentuhan langsung tangan seniman pada karya sempat lama menjadi pertimbangan. Setelah mendapatkan pengakuan, fotografi pun sebenarnya lama lebih dianggap sebagai seni merepresentasi realita dari seni mengekspresi diri, oleh kemampuannya merekam realita melebihi para pelukis naturalis dan menghadirkan satu realita yang jauh dari kita (kini media visual elektronik lebih piawai dalam kecepatannya). Tidak pula bisa dipungkiri bahwa di dunia seni fotografi dikenalnya Cartier Bresson, Robert Cappa sangat berhubungan dengan publisitas karya mereka di majalah majalah bergambar yang marak di tahun 30’an. Apa lagi nama nama seperti Irving Penn, Avedon, Helmut Newton, Robert Mapplethrope yang sangat berkaitan dengan majalah majalah Mode, dari pertengahan abad lalu sampai sekarang.

Patut juga diingat pula bahwa pameran foto Cartier Bresson di tahun 50’an yang dokumenter-jurnalistik, adalah pameran foto tunggal pertama di Museum Louvre. Sedang jual beli karya fotografi sebagai karya seni, baru menjadi perbincangan di tahun 1980 ketika karya cetak asli jurufoto Ansel Adams; Moonrise: Hernandez, mencapai harga U$ 45,000. Dan puncaknya ditahun 1992 ketika terjadi transaksi di bursa seni Christie atas karya jurufoto Uni Sovyet , Rodchenko; The Girl with a Leica, sebesar 115,000 poundsterling. Semenjak peristiwa peristiwa itu fotografi mendapat dimensi yang lain, ia mendapatkan tempatnya yang baru sebagai benda seni yang berdiri utuh sendiri, seperti kakaknya seni lukis. Kini memasuki abad ke duapuluhsatu semua Museum terkemuka di dunia memiliki kurator khusus untuk fotografi.

Seperti diungkap semula, semenjak kelahirannya fotografi sudah sarat dengan pernyataan pernyataan yang menerima maupun menolak kehadiran fotografi baik pada pengakuan akan keunggulannya menghadirkan realita ataupun sebagai media manifestasi ekspresi diri. Bukan saja antara mereka yang berada di dalam dan di luar kubu fotografi, tetapi juga antar sesama kubu fotografi sendiri. Misalnya antara pandangan realis (bukan dalam pengertian realisme social) yang menerima fotografi sebagai suatu karya yang menghadirkan realita dan pandangan para konvensionalis yang menganggap bahwa persepsi fotografi menghadirkan realita sebagai satu hal yang naïf; bahwa satu hasil kerja yang berasal dari film Tri-X di developed dengan D 76 untuk kemudian dihadirkan hitam putih dengan burning serta dodging, tidak mungkin dinyatakan sebagai realita. Belum lagi keputusan seorang ketika menjepretkan kamera. Adalah satu kenyataan bahwa seorang jurufoto harus menentukan rana dan kecepatan, serta mengkotakkan satu bidang pilihan dalam frame, tindak sensor sebelum menghadirkan “realita”nya juru foto. Selain itu semenjak kelahiran kamera (obscura), yang sesungguhnya merefleksikan gambar dalam bidang yang bundar, telah dibuat satu konvensi dengan membuat sudut pandang menjadi kotak persegi sesuai kebutuhan para pelukis dizaman renesans dulu. Perdebatan tentang realita ini terus masih berlangsung sampai sekarang apalagi dengan kehadiran kamera ccd digital yang merekam bukan hanya dengan cahaya melainkan kepekaan menangkap partikel elektris. Pembuatan foto peta Messier Grid oleh Paul Gitto dengan kamera digital yang mendapatkan kedudukkan bintang yang berbeda dengan ketika direkam oleh kamera analog, menjadikan perdebatan ini menjadi semakin aktual.

Ada juga sisi perdebatan yang lebih umum, seperti bagaimana fotografi sebaiknya? Haruskah ia berdiri obyektif, merekam gambar tanpa subyektivitas, untuk menghadirkan realita se”ada”nya. Atau sebaliknya? Bahwa fotografii harus dapat menampilkan kepekaan subyektivitas? Pertanyaan yang khas akan keberadaan fotografi oleh kenyataan akan kepercayaan pemirsa pada hasil jadi satu foto, apalagi ketika terpampang di satu media cetak-koran terpercaya.

Tentang bagaimana fotografi seharusnya. dalam sejarah fotografi pernah dikenal pendekatan pictorialist, prakarsa jurufoto Stiglietz (1864-1946, suami pelukis Georgia O’Keefe) dari Amerika Serikat. Ia menentang bentuk fotografi yang seolah hanya meniru para pelukis naturalis; penuh dengan rekayasa tehnis. Menolak pendekatan elitis salon fotografi Inggris diabad ke 191. Pendekatan pictorialist kemudian berkembang menjadi straight photography ditangan juru foto seperti Dorothea Lange (1895-1965) dan Walker Evans (1903-1975) yang menganggap juru foto mampu untuk merekam oyektivitas secara aestetis. Netral, tidak berfihak dan menghadirkan nilai nilai kemanusiaan. Ada juga para perupa Bauhaus seperti Mahology Nagy (1895-1946) atau Man Ray (1890-1976) yang melihat fotografi sebagai media ekspresi yang unggul oleh kemampuan tehnisnya yang modern; montage, double printing, solarisasi bentuk kerja-hasil yang khas fotografi. Disini tehnis menjadi penting tetapi bukan untuk kecantikan foto itu sendiri, melainkan menghadirkan satu estetika baru yang bahkan kadang anti estetika. Dalam perkembangannya bagi mereka yang gemar bekerja dengan metode ini serta merta dapat memahami serta menggunakan keunggulan system ccd’ digital.

Lain lagi dengan Rodchenko (1891-1956) yang akrab dengan constructivisme dan menyatakan bahwa fotografi telah menghadirkan satu realita baru dalam arti kata sesungguhnya; tehnis telah dimungkinkan untuk menghadirkan satu sudut pandang yang tidak pernah terlihat sebelumnya, misalnya bird eye view, low angle ataupun jarak kedekatan pada obyek mulai dari wide sampai macro2. Dan seperti pemikiran filsafat yang melatar belakangi Rodchenko ada satu keyakinan bahwa satu bentuk seni tidak bisa obyektif ia dilahirkan oleh pemikiran pemikiran yang subyektif dan untuk itu justru fotografi harus “berfihak”. Pendapat ini juga mendapat dukungan di dunia jurnalistik, yang marak menjelang perang dunia ke II. Perang saudara Spanyol melahirkan perupa perupa fotografi besar, yang memilih untuk membuat foto foto jurnalistik berfihak.

Sekarang ini kehadiran pernyataan pernyataan dan alasan bagaimana sebaiknya karya dibuat, semakin beragam. Bahkan banyak pendapat dari mereka yang tidak terlibat langsung dalam fotografi. Diantaranya tentu penulis Susan Sontag dan Roland Barthes, semiolog yang justru menggunakan pendekatan phenomenology pada karyanya tentang fotografi; Camera Lucida – Chambre Noire, karya terakhirnya sebelum wafat.

Sementara di dunia fotografi berbagai teori praxis juga terus bermunculan. Misalnya pada pameran Die Welte der Ganze di Bentara Budaya belum lama ini. Kurator Ulf Erdman menyatakan secara eksplisit bahwa ciri karya fotografi dokumenter jurnalistik terkini adalah aestetis dengan impak psikologis , yang dapat dibuat lebih baik bila perupa memberi jarak emosi pada obyek (bahkan secara fisik; suatu liputan tentang kematian direkam seminggu setelah peristiwa berlalu), serta pembebasan gambar dari teks untuk menghindari narasi, proses yang akan melahirkan satu gambar(an) yang obyektif. Bertentangan dengan pendapat Allan Sekula, yang menganggap bahwa satu hasil kerja fotografi adalah cermin ideologi seorang pada realita, satu tindak sosiologis yang aestetis dan bahwa; apabila gambar menyita ruang, teks mengisi waktu (konteks). Iapun sependapat dengan Burgin yang menyatakan bahwa kehadiran teks merupakan usaha untuk menghindari cara pandang yang salah. Victor Burgin dan Richard Prince dikenal dengan membuat foto dari iklan rokok terkemuka untuk menganalisa ideologi pria ideal dalam iklan tersebut, re-interpretasi dari iklan iklan tersebut dengan kritis. Bedanya bila Burgin menghadirkan iklan tersebut secara keseluruhan dalam ruang yang kontradiktif; iklan alam yang indah di ruang sumpek stasiun subway, maka Prince dikenal dengan reproduksi fragmentarisnya. Agak dekat dengan mereka adalah kerja Barbara Kruger yang mereproduksi iklan iklan tetapi pada representasinya ia menambahkan teks baru, yang memberi pengertian yang berbeda dan lebih sering sebagai kritik. Sesungguhnya masih banyak lagi nama nama jurufoto yang tidak mungkin dapat difahami karyanya tanpa pengertian akan teori landasan berfikir jurufoto. Karya yang bila dilihat hanya dari sisi tehnis dan aestetis tampak sederhana, ciri khas karya post Stieglietz, pasca kecenderungan aestetis formalis.

Wajarlah bila kritikus Eleanor Heartley menyatakan bahwa diakuinya karya Cindy Sherman (yang selalu menjadikan dirinya sendiri sebagai model dalam karyanya) sebagai karya yang baik, tidak lepas dari kenyataan bahwa Cindy bekerja berdasarkan pemahaman “post structural-feminism”; kesadaran mengeksploitir dirinya (perempuan) sebagai obyek fotografi. Seperti Madonna dengan buku foto serta musiknya yang berjudul “Sex”, dimana dengan sadar subyek menjadikan dirinya obyek, tetapi dengan kekuasaan mutlak terhadap pemirsa; kemampuan obyek (perempuan) sekaligus menjadi subyek untuk justru mendominasi pemirsa (pria); “You can’t touch me; eat your heart out!”. Agaknya memang, kini tidak bisa tidak, untuk dapat mengerti hasil kerja para perupa fotografi, seorang harus bisa memahami konsep dan teori.

Ada sisi lain yang patut diperhatikan oleh peminat seni fotografi. Adalah oleh kehadirannya yang relatif baru maka tidak mengherankan bahwa setelah peristiwa peristiwa transaksi tertulis diatas tadi, ketika cerita tentang re-salevalue, atau benda seni sebagai investasi mulai terdengar, barulah ia mendapatkan tempat yang mapan dalam pasar seni.

Fotografi seperti kerja seni lain yang dapat direproduksi secara mekanis, misalnya seni grafis, litogaphi, tidak memiliki ciri khas sebagai satu satunya karya asli. Untuk melindungi pemilik-pembeli pada masalah otentitas dan jumlah edar, ia diberi batasan cetak. Satu keadaan yang kebenarannya hanya akan terjadi bila ada satu kesepakatan etika diantara pencipta, penjual dan pembeli.

Dalam pasar tentu ini menjadi satu tantangan. Oleh karena sekali ia mendapatkan pengakuan maka kehadiran karya yang dapat direproduksi ini merupakan satu investasi yang tak ternilai. Edward Lucie-Smith, kritikus dan juga jurufoto menyatakan bahwa dizaman kapitalisme maju ini tidak ada investasi yang begitu lucrative dan penuh spekulasi seperti bursa saham selain pasar seni (bukan kebetulan kalau ada istilah bursa seni!)

Sebab itu tidak mengherankan bahwa dinegara negara maju justru kemampuan reproduksi yang semula dianggap dapat menjadi halangan untuk investasi bagi pembeli, oleh adanya lebih dari satu karya otentik, diubah menjadi satu kekuatan. Berlawanan dengan teori Walter Benyamin, yang menyatakan bahwa reproduksi akan menyebabkan semakin mudahnya satu karya dinikmati maka justru karya kini di reproduksi untuk kalangan terbatas, dengan penciptaan citra yang khas 3 . Tidak pernah terbayangkan bahwa satu seri karya fotografi berukuran 20×25 cm diibeli oleh New York Museum of Modern Art senilai satu juta dollar. Tentu saja tidak semua orang menerima, kritikus Richard Phillips menganggap bahwa transaksi atas karya Cindy Sherman; Untitiled Film Stills lebih oleh pertimbangan sensasi pasar dari muatan seni karya itu sendiri. Tetapi suka atau tidak suka transaksi ini telah berlangsung dan merupakan satu kejadian yang riel. Di negara negara maju mata rantai prosedur pengesahan (patron, kritisi, kurator dan museum) telah begitu mapan. Begitu juga saat melihat karya Gerald Richter4 yang trans fotografi maupun lukis, trans otentitas dan originalitas, sebagai manifestasi senirupa terkini, serta merta (seperti para perupa abstract expresionis dulu) ia dipilih untuk dikanonisir. Tahun 2002 dinyatakan sebagai tahun Richter, karya karyanya diedarkan secara serentak diseluruh dunia di semua Museum negara maju (di Indonesia dipamerkan di Jakarta dan Bandung). Bagi Museum yang tidak ingin ketinggalan zaman, karya Richter adalah satu keharusan; karya Richter ada di koleksi khusus fotografi prestisius LAC Switzerland sampai koleksi lukisan MoMA New York. Mekanisme reproduksi telah menjadikan karya Richter menjadi mesin investasi yang tak terbayangkan.

Pada perkembangannya, fotografi di Indonesia tumbuh berbeda dari seni lukis. Ketika para pelukis Indonesia aktif berjuang (serta dalam proses kemerdekaan) mereka sudah mencantumkan nama mereka dibidang kanvasnya. Berbeda dengan kakak beradik Mendur dan kawan kawannya yang tergabung dalam IPPHOS. Meski foto nya terpampang dalam banyak buku dan buku sejarah rasanya tidak banyak yang tahu siapa pencipta foto upacara penaikkan Sang Saka di tahun 1945. Begitu juga saat para pelukis (dan pematung) di tahun 1956 mendapatkan buku bergengsi pertamanya; koleksi lukisan Soekarno. Maka para juru foto menghadirkan kerja mereka di koran koran dan media cetak yang secara mutu relatif sederhana. Selain itu media pers memang belum memiliki ambisi untuk menggunakan fotografi sebagai alat komunikasi aestetis dibanding dengan para pelukis yang membuat illustrasi serta vignet. Fotografi lebih dilihat dalam kapasitasnya sebagai bagian dari pemberitaan.

Ketika S.Sudjojono mencoba berteori tentang bagaimana seni lukis di Indonesia sebaiknya, fotografi tidak pernah mempermasalahkan fungsinya. Sementara sekolah pendidikan senirupa (lukis) baik tingkat akademi maupun jenjang yang lebih tinggi telah menghasilkan banyak lulusan, apresiasi pada seni fotografi dilakukan di klub klub khusus fotografi, diprakarsai oleh Salon fotografi Indonesia. Klub berkesan ekslusif dengan kecenderungan tableau yang aestetis dan sangat tehnis ini sedikit banyak telah melahirkankan jarak antara seni fotografi dengan dunia seni rupa dan bahkan dengan foto jurnalistik. Tapi sejujurnya klub klub ini dan lomba lombanya lah yang mengayomi apresiasi fotografi di Indonesia selama beberapa dasawarsa. Baru pada tahun 1992, mengantisipasi perkembangan dunia komersil, jurnalistik dan kemudian pada seni murni, sekolah pendidikan khusus fotografi dalam tingkat akademi dan lanjut hadir; IKJ dan ISI. Hampir pada saat yang bersamaan lahir Galeri Jurnalistik Antara yang kehadirannya berhasil melahirkan komunitas apresiasi fotografi yang cukup luas dan variatif. Agak lama kemudian Galeri komersil Cahya, yang mencoba melahirkan komunitas pasar fotografi di Indonesia, dan dipertengahan tahun ini, Galeri seni Octagon. Perlu dicatat juga bahwa di tahun 1992 atas prakarsa Jim Supangkat telah diadakan ada satu pameran yang berusaha menghadirkan serta menjembatani semua bentuk representasi, baik yang seni murni sampai pada seni terapan pada pameran JADEX bertempat di Jakarta Design Center. Pameran menghadirkan seni grafis murni maupun terapan, fotografi sampai lukis dan patung semua berdiri sejajar, satu sikap yang sangat progresif.

Sementara itu semenjak akhir tahun 1970’an memasuki 1980’an fotografi berkembang dengan maraknya dunia periklanan dan majalah wanita. Para jurufoto dianggap sebagai orang orang yang dapat memanifestasilkan kehendak biro iklan dan klien. Tehnik dan kreativitas mereka diiarahkan untuk mempengaruhi (manipulasi) calon konsumen dan pembentukkan citra wanita serta remaja Indonesia yang baru. Tampilannya pun sangat terbantu oleh perkembangan mutu cetak. Penyajian ini dominan pada media cetak dan terus berlangsung sampai saat memasuki era “reformasi”, dimana tiba tiba wereld aanschouwing kita berubah. Kini tiba tiba foto bergaya jurnalistik yang realistis sekaligus aestetis maupun sensasionil mendapat perhatian khusus, foto foto aksi dan “demo” selama beberapa waktu menjadi permintaan pasar dan memenuhi media masa.

Tentu saja dalam kurun waktu yang cukup panjang itu banyak jurufoto yang sempat mengekspresikan dirinya dengan media fotografi. Di bidang jurnalistik nama nama seperti Ed Zoelverdi, Kartono Riyadi, Rama Surya, Oscar Mathulloh (dan masih banyak lagi; Arbain Rambey, Julian S, Eriek P. untuk menyebut beberapa nama) tidaklah hanya menghadirkan foto tanpa pertimbangan pribadi. Karya karya mereka selain memiliki muatan berita tetapi juga sarat dengan pernyataan sikap dan aestetika khas perupa itu sendiri. Dodo Karundeng seorang jurufoto pewarta pada pamerannya sempat memprovokasi masalah otentitas dengan berkarya diatas karya jurufoto Isabel Waternaux, mengacu pada Duchamp; menganggap karya seni lain sebagai bahan “ready made” yang dapat direinterpretasikan dalam karya baru. Dibidang periklanan nama seperti Darwis Triadi telah memberi satu citra-imej khas pada visual estetika pencerminan dari kondisi social masyarakat mimpi zaman “pembangunan” sebelum krisis moneter. Sementara saya mencoba merekam dinamika dan alienasi aestetika fashion yang ambigu di zaman tersebut (sampai sekarang), hampir semua karya ditampilkan didalam media cetak yang ada. Di zaman itu juga, jurufoto Fendy Siregar dalam beberapa kesempatan pameran (antara lain Jadex dan Istiqlal) memperlihatkan alternatif altenatif bentuk representasi yang kontemporer dalam fotografi. Satu kejadian lain yang cukup berarti bagi fotografi (Indonesia) adalah pada Bienale Senirupa Kontemporer ke 9 di Jakarta (1993-4), lagi atas prakarsa Jim Supangkat, menyempatkan jurufoto yang kemudian menjadi kurator; Judhi Suryoatmojo dan jurufoto Tara Sosrowardoyo, untuk menghadirkan karya karyanya. Ditahun tahun selanjutnya Nico Dharmajungen, Ray Bachtiar secara rutin mengekspresikan diri dengan berpameran, walau sadar bahwa mekanisme apresiasi, baik dari segi informasi, wacana intelektuil apalagi pasar belum memadai. Hal lain yang tidak bisa dikesampingkan bahwa dalam waktu yang relatif singkat, era reformasi telah melahirkan banyak jurufoto muda yang berkarya dengan kecenderungan jurnalistik aestetis, seperti; Kemal Jufri, Igbal dan masih banyak lagi.

Disisi lain pada dunia senirupa tidak banyak perupa yang menggunakan fotografi seutuhnya, umumnya media fotografi digunakan sebagai perantara (pantograph) menuju karya akhir bergaya photorealism atau superrealism dari cat minyak atau akrilik diatas kanvas. F.X Harsono tercatat sebagai salah satu peruoa yang menggunakan media fotografi seutuhnya sebagai media ekspresi. Dalam penulisan tidak banyak yang membahas fotografi dalam wacana intelektuil. Menonjol adalah penulis Seno Gumira Adjie, meski berangkat dari disiplin sinematografi sangat baik dalam membuat foto, yang memudahkan Seno menulis tentang permasalahan berdasarkan pengalaman tehnis psikologis. Lagi kritikus senior Jim Supangkat pernah mengaitkan masalah representasi fotografi dan seni lukis, tetapi sayang tulisannya memang hanya teruntuk pameran lukisan saya (1997) yang kebetulan punya dua disiplin pendekatan seni. Dan tentu saja Yudhi Surjoatmojo, konsisten memperjuangkan fotografi sedari awal, memperjuangkan kredit jurufoto pada sisi foto di media masa dan juga hak cipta serta hak pakai foto yang sering disalah artikan5. Sementara para penulis dan pakar media khusus fotografi seperti Agus Tjahjono dan Leonardus meskipun sadar akan permasalahan masih dibebani masalah tehnis dan aestetis khas industri fotografi seperti penggunaan dan perkembangan tehnologi yang memang merupakan satu kebutuhan bagi masyarakat umum pencinta fotografi. Melihat situasi umum ini, haruslah disadari bahwa memang ada satu kesenjangan psikologis maupun historis antara (seni) fotografi dan senirupa di Indonesia. Sehingga tulisan tulisan yang tampak berusaha menjembatani keduanya, seperti usaha Rifky Effendi belum lama ini (Tantangan Fotografi dalam Era Rekayasa Digital), menjadi sangat berarti bagi perkembangan fotografi dalam kaitannya dengan senirupa.

Pada diskusi tentang Richter bertempat di Gallery I-See, Kurator dan kritisi Asikin yang baru kembali dari Helsinki melihat semarak pameran dari apa yang dinamakan sebagai Media Baru(New Media) dan menyatakannya sebagai tren di negara maju (catat juga bahwa di pelabuhan Helsinki terdapat toko fotografi-media visual elektronik professional bebas-bea terbesar di Eropa). Karya seni yang direpresentasikan dengan tehnologi baru; fotografi-digital imaging, media elektronis visual maupun non visual; suara. getar dan gerak, patut diantisipasi oleh perupa kita, meski representasinya bagi umum seringkali sulit untuk dihayati. Namun ada baiknya bila kita sadar bahwa segala bentuk manifestasi seni ini sesungguhnya sangat riel walau seolah tampak ilusif dan tehnis. Misalnya karya Gillian Wearing, instalasi pandang; Pandaemonium, London Festival of Moving Images. Seorang pemirsa semula akan mengalami sedikit kesulitan untuk dapat berkontemplasi didepan tiga layar dengan gambar gambar yang berubah ubah hampir setiap detik dengan suara (dan dengung) yang sekali kali berhenti6. Namun setelah beberapa saat ia akan sadar bahwa situasi ini sama dengan situasi ketika seorang berhadapan dengan televisi dengan remote controle ditangan, sebagai satu satunya alat perlawanan dari seorang pemirsa pada arus deras satu arah dari siaran televisi. Kita menjadi terkesima melihat penguasaan perupa secara psikologis tentang tehnologi itu sendiri dan menjadi engah bahwa bentuk manifestasi seni seperti ini akan lebih mudah dimengerti apabila kita berada dalam tingkat fikir yang sama dengan perupanya. Mengingatkan kita pada Pierre Bourdieu7 bahwa; karya seni hanya berarti dan menjadi interes bagi seorang yang memiliki kompetensi budaya, untuk membaca men de-kode, kode kode yang ada pada karya.

Sementara sistim digital yang memiliki kemudahan kerja dan manipulasi kreatif sempat menjadi masalah ketika majalah National Geographic menggeser letak pyramid agar sesuai tata letak ukuran sampul. Perdebatan sengit di redaksi terjadi oleh pernyataan masyarakat yang meragukan kredibilitas majalah akibat perubahan visual yang sekaligus adalah manipulasi pada realita. Padahal majalah ini merupakan majalah prestisius tentang alam dan realita!

Sekilas pada lahirnya inovasi dan kreativitas multi media maupun koreksi pada penggunaan digital, kita mungkin akan terperangah bagaimana ada satu pola inovasi dan koreksi yang seolah saling terkait. Namun bila kita mencoba memahami bahwa dalam masyarakat; metode produksi-ekonomi sebagai bangun bawah berperan menentukan bangun atas, akal dan teori. Untuk kemudian bangun atas mempengaruhi bangun bawah melanjutkan proses dialektikanya. Kita akan sadar bahwa; Media baru lahir dari metode produksi kapitalis industri informatika, manifestasi ekspresi individu yang khas; machinal tetapi sekaligus maya. Sedang kritik terhadap manipulasi juga lahir dari bakunya aturan dan integritas yang harus ada, satu etika untuk kelancaran sistem (kapitalisme).

Sungguh merupakan satu keadaan yang jauh dari kita khususnya dunia fotografi.

Ketika kekuatan fotografi menghadirkan realita masih tersendat oleh tabu.

Pernyataan individu dan identitas dalam potraiture saja masih menjadi masalah (Semua ingin tampak lebih cantik!). Kekuatan fotografi menghadirkan realita masih tertantang oleh norma norma dan perbagai pengertian tentang pornografi atau sangsi social (Saya mau diwawancara, tapi jangan di foto ya?).

Kehadiran tubuh sebagai manifestasi ekspresi diri masih dipertanyakan, hingga di Akademi pada penugasan membuat foto tentang tubuh, hampir semua menghadirkan secara fragmentaris tanpa kehadiran wajah8. Kenyataan kenyataan khas dunia periferi ini sedikit banyak mempengaruhi perkembangan fotografi. Tetapi bila kita mau mengacu pada teori bangun atas dan bawah tadi maka dalam masyarakat setengah tani setengah industri (atau semi feodal dan semi kapitalistis?) ini tentu ada berbagai metode produksi dalam masyarakat dan konskwensi logisnya adalah berlakunya berbagai persyaratan dan pemikiran oleh berbagai jenis hubungan, yang memiliki wilayah kantong budaya masing masing. Berlaku perbagai norma pada perbagai wilayah dan tentunya juga pada dunia fotografi kita. Sehingga memang ada wilayah wilayah “bebas” dengan audiens khusus, seperti Akademi maupun Galeri. Namun pada pertemuannya dengan masyarakat luas ia akan memasuki wilayah dengan konsensus yang beda, misalnya dunia penerbitan dan periklanan dengan batasan batasannya. Disini akan ada kekuatan saling mempengaruhi yang biasanya dimenangkan oleh fihak yang lebih besar wilayah hegemoninya. Tentu saja tidak berarti bahwa tidak ada kemungkinan seorang (individu) mencipta karya fotografi yang “real” atau karya berbasis “new media”, tetapi ini lebih dimungkinkan bila ia berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia centrum (dengan tatanannya). Ia juga lebih mudah dicerna dan di apresiasi oleh mereka yang berada dalam tatanan hubungan produksi yang cenderung maju, sehingga karya karya dalam bentuk ini akan seringkali terkesan elitis walau bukan demikian maksud sesungguhnya.

Melihat ini semua kita akan sadar bahwa pilihan fotografi sebagai pemenang pada ASEAN art awards tadi adalah hasil proses apresiasi yang cukup panjang. Dan menyikapi mosaik fotografi internasional maupun nasional ini sejujurnya, masih jauh lagi kita harus berjalan dengan segala rintangan dan godaannya (Bayangkan manipulasi gambar berita menggunakan kamera digital oleh media yang tidak memiliki etika). Satu etika baru harus ada dan hanya akan terbentuk bila ada tatanan produksi dan social yang nyata nyata mendukung dan sekaligus dapat mengkoreksi hadirnya bentuk seni rupa fotografi ini. Kita harus sadar dan siap bahwa sebelum fotografi dan “keunggulan” reproduksi -serta manipulasi digitalnya- ini dimengerti, diminati lalu beredar di pasar. Harus ada etika dan “fatsoen”; satu kesepakatan agar ia tidak tumbuh salah kaprah menjadi ajang jor joran serta manipulasi perdagangan benda seni yang memang sangat menggiurkan.

——————-

1 Penting untuk dapat membedakan pictorialis dengan salon oleh karena muatan latar belakang pemikiran yang sesungguhnya sangat bertolak belakang, tetapi oleh kata ”pictorial” maka seolah ia hanya mengutamakan estetika belaka.

2 Satu pameran yang unik “The Artist and the Camera” diadakan oleh kurator Dorothy Kosinski tentang pengaruh sudut pandang camera pada kerja para pelukis dari Degas sampai Picasso. Pameran membandingkan foto foto dari mana para pelukis mendapatkan inspirasi bentuk, dan karya akhirnya.

3Perupa dan penulis Daniel Buren (Function of the Museum;Theories of Contemporary Ary, 2nd ed. 1993) menyatakan bahwa sekarang ini Museum bertindak sebagai preservasi benda seni, menentukan idé dan memilih mana karya yang baik dan kemudian juga memilikinya. Dengan itu Museum berperan menentukan mana karya karya yang secara ekonomi (akan) sukses dan mana yang tidak. Museum juga berfungsi sebagai tempat lindungan karya yang sesungguhnya terisolir, lalu menjadikannya seolah ideal sekaligus ilusif menjauhkan karya dari situasi riel politik dan ekonomi.. Satu kritik terhadap kemapanan sistem Museum di Barat.

4 Richter dikenal dengan karyanya yang dibuat dengan cara reproduksi secara fotografis dari foto yang ada dimedia cetak, untuk kemudian diproyeksikan dengan memburamkan focus diatas kanvas, dilukis dan kemudian difoto kembali dengan menggunaan film slides (color transparencies) untuk akhirnya dicetak diatas kertas cibachrome (slides to print). Hasil cetak ini dinyatakan sebagai karya akhir.

5 Tulisan Yudhi Suryoatmojo; The Challenge of Space; Photography in Indonesia 1841-1999, merupakan salah satu kalau bukan satu satunya tulisan yang komprehensip mengenai perkembangan fotografi di Indonesia. Tulisan penting ini merupakan salah satu tulisan dalam buku “Serendipity: Photography, video, experimental film and multimedia installation from Asia”, JFAC, 2000.

6 Masih sehubungan dengan Museum, kritikus Rosalind Krauss (The Cultural Logic of the Late Capitalist Museum, Theories of Contemporary Art, 2nd edition,, 1993) menulis bahwa penyajian karya karya minimalis, telah mensubversi pasar benda seni dari “seni rupa yang orisinil” bergeser menjadi “museum industri”. Adanya perubahan perubahan dalam pemilihan benda seni, peletakkan dan pencahayaan buatan serta penonton yang lebih awam menjadikan suasana interaksi “hyperspace” palsu yang lebih dekat pada Disneyland dan menjauh dari konteks museum yang tradisionil.

7 Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste; Introduction. Routledge&Kegan Paul Ltd, 1984

8 Tentang kemampuan melanggar tabu ini S.S.Wijatmika seorang jurufoto muda membuat peliputan pelacuran remaja di Jakarta. Karya karyanya otentik dan berhasil merekam perubahan moral secara riel. Sayang bahwa karya karya ini hanya sempat dipamerkan satu kali (Galeri Nasional, 1998) dan tidak mendapatkan liputan yang sepatutnya. Karya karyanya kemudian ada yang digunakan UNICEF.

* Tulisan ini diposting atas persetujuan dan izin dari penulis yang bersangkutan.

March 29, 2013

The Challenge of Space : Photography in Indonesia, 1841-1999

Karo-Batakian

(c) Walterwoodbury & James Page

Yudhi Soerjoatmodjo

At every stage of its development, the challenge to define space – material, emotional, structural and creative -has always been the principal motive of photography practice in Indonesia. 

When photography first entered the archipelago in the nineteenth century, space was embodied by the colonized land itself, a physical entity to be mastered, described, quantified and altered. During the struggle for independence, that  contrived space came to signify mankind’s past isolation from his fellow man, as photographers of the young republic unveiled new dimensions in their records of people and events. In the economy driven 1970s and 1980s,  photographers embraced the structured professionalism of modern corporate organizations, and the gridlined space  of print media became the paramount form of presenting creative work. Today, the word “‘space” would imply  contemporary photography movement to make room, through the establishment of alternative spaces, for broader  communal exchange.

Whatever the case, the concept of space is inherent of the medium itself. Perhaps, it was no mere coincidence that  the Dutch Ministry of the Colonies, whose primary concern was surely the appropriation of more territories, was one of the first to grasp the potential power and application of photography. At the order of this office, the first  Daguerreotype arrived in the ancient capital of Batavia in 1841, a mere two years after the camera’s invention in  France. It was promptly transported to Central Java, with the specific mention for it to be used to “collect photographic  representations of the principal views, etc. and also of plants and other natural objects.”

Although that experiment ended in failure, by the 1850s the concept of photography as an inventory tool was firmly in place. The methodical mapping of the colony through the aid of photography was on its way. Over the next three quarters of a century, this determined not only the reality of its practitioners -which included missionaries, court  officials, military officers, and sometimes the adventurous and the dispossessed- but also the sort of images that were generated, and the functions they served. Furthermore, the way the images were circulated and presented to  the public, propagated a particular philosophy of aesthetics which still affect us today.

To illustrate these points, first we need to scrutinize the life and work of several notable photographers of the period.

One of the most important and prolific studio was perhaps the studio of Woodbury & Page. It was founded by a pair of Englishmen of the same name, who had relocated to the Dutch-Indies after their earlier attempt to struck gold in Australia had ended in vain. They then revived their first love of photography and, in 1857 in Batavia, established the photo firm which would survive until the early 1900S. Besides working on government commissions and producing portraits for wealthy clienteles, a considerable amount of their flourishing business came from the sale of individual photograph and carte-de-visite. These images of land and people were meant to be collected in souvenir albums, a favorite pastime of colonial sojourners.For these reason they traveled extensively through the outermost regions of  the archipelago, photographing nobles and commoners as archetypes. Consequently, Woodbbury and Page furthered  the concept of conquering the land by conquering its image, in which:

“fierce -looking savages with their clubs, spears and poisoned arrows, no longer represented a  threat to the Europeans…Now they simply functioned as exotic trophies for the cameras of professional photographers.”

Contemporary historians considered the Javanese Kassian Cephas (1845-1912) the first native photographer. He was an exceptional figure, given the fact that until the beginning of the twentieth century the photography profession  were virtually in the hands of Europeans, a few Chinese and Japanese. More extraordinary was his ability to serve and traverse the two worlds of East and West with grace and skill. He served the Sultanate of Yogyakarta as court  photographer and painter from the early 1870s. In association with the king’s Dutch physician, Cephas also had his commissioned photographs published in several important portfolios. As servant of the court and an amateur archaeologist, Cephas’ photographs of the Sultan’s family, the sacred ceremonies of the court, the royal theatrical  performances or even the ruins of Hindu-Javanese temples were “not images expressing individuality but images representing dignity.” Essentially, their charm rest in the mysterious quality which surround them. In a portrait of a  person, it might be the headdress, jewelry, flower arrangements, the motif of the batik cloth, and even the positions of  the hands and feet.” In retrospect, it is precisely because of these characteristics that his photographs have become  examples of the subliminal, but nonetheless, violent invasion of one dimension by another: the demystification of the country’s present by stereotyping its past, reinforced by contrasting the great achievement of the past with what was regarded as the low level of the contemporary culture.

No such contradiction spoiled the work of Indonesian photographers during the nation’s struggle to defend its independence (1945-49). In fact, the first photograph made by a citizen of Indonesia occurred at the exact second the nation declared its existence. Sometime after 10 o’clock in the morning of August 17, 1945, the Indonesian photographer came into being with the click of his shutter.

Frans Mendur (1913-1971), along with his older brother Alex, attended the proclamation of Indonesian independence and took the photographs that had become icons of the nation’s modern history. As reporters they knew about Hiroshima and Nagasaki’s devastation by atomic bombs, and realized that this would have significant repercussions in the former Dutch colony, then still under Japanese occupation. In the confusion of its imminent defeat, the authority lost its grip on the country. Nationalist leaders took advantage of the situation and quickly declared the establishment of the Republic of Indonesia, thus, preventing the Dutch from recovering their lost territory.

Within days of those momentous happening, Indonesian photographers would reclaim the space which had been denied from them for centuries, to record and to see their own faces as free men. They gave the country a new presence, and showed a new dimension in the relation between its people. The Indonesians were no longer portrayed as murky shadow crouching at the feet of white-clad European masters, a typical image of colonial times, but as distinct human beings. The Indonesian cameramen photographed up-close, conferring the same proportion to the common people as to its leaders and capturing them in the same frame, emphasizing their equal status. They discarded visual artifice which had been used in the previous century to imply dignified and reserved distance. Almost every frame in their photographs was bursting with noise, gestures, and the jostling, expectant faces of the ordinary Indonesian people, and made an extraordinary impression because of the14 honest and direct manner in which they were taken.

Finally, with no one to command them, no visible funding and almost no equipment, the Indonesian photographers reorganized themselves. In the first week of September 1945, young Indonesian photographers at the Jakarta and Surabaya offices of the Japanese news agency Domei established the photo department of the revived Antara news bureau. Alex Mendur (1907-1984), who had been the Domei’s chief of photo, joined Merdeka, the country’s first independent newspaper which his brother Frans had helped establish. A year later they founded IPPHOS with their old friends before the war, the brothers Umbas. 

Three factors contributed to their achievements. Regarding their new-found aesthetics, the Indonesian photographers had the benefit of modern technology which enabled them to make and develop photographs in the most difficult conditions. Furthermore, the small camera eliminated the spaced distance so characteristic of the large view camera of the past. Some of the most important images of the period, the photographs of the proclamation for example, was made with the compact Leica camera. It uses the roll film’, which was easy to smuggle, a very important point in times of war, and permitted the photographers to quickly capture different nuances and sequence of an event.

Second of all, as the Indonesian leaders had no administrative experience in running a country, the Republic “depended on ideology and rhetoric as the sole instrument to maintain law and order.” Images that conveyed solidarity and harmony among the people promptly received moral and financial support from the government. Antara, formerly an independent news agency, was later installed under the Ministry of Information. IPPHOS remained autonomous, but relied on the Indonesian Prime Minister and other officials traveling on special trains to smuggle20 films in and out of conflict areas.

 The third, and most important dimension, is the photographers’ professional and political background prior to the independence. In the nineteenth century, the professional photographer was principally a commercial photographer with his or her own studio. In contrast, the photographers of Antara and IPPHOS were journalists from their earliest careers. This is an important distinction. Working for the media, even ones that were controlled by the enemy, gave them the access to see the true condition of the country, to converse with future leaders of the nation and, thus, the opportunity to develop a critical point of view.

The Antara— photographers, for example, had been young and ingenuous recruits at Domei, in the last and most brutal years of the Japanese invasion. There, they not only received formal photography course by a special instructor from Japan, but also came in contact with senior reporters who had been the founders of Antara, a pre-war news agency supportive of the national movement. As photographers for a Japanese news bureau, they had the license to make photographs and, more important, to travel the lan ‘ d. What they saw was a country wrecked by extreme poverty and starvation, made worst by the severe martial law of a foreign power. For them, the decision to join the independence war, and to join Antara, was a simple choice.

The founders of 1PPHOS, on the other hand, had the example of their mentor Anton Najoan (1896-1933). In the rigid structure of the colonial society, Anton had achieved social and professional respect as photographer for Batavia’s preeminent press, the Java Bode. Yet, he refused to have his status as a native gelijkgesteld, legally changed to the equivalent of an European. Furthermore, Alex Mendur’s apprenticeship with Najoan at the age of fifteen in 1922, coincided with the inflow of other regional youths pursuing professional studies in the capital’s higher institutions. Alex spent ten years building his career in Batavia -from the famous studios of Luyks and Charls & van Es & Co., to the position of photojournalist at the Java Bode daily newspaper and Wereld Nieuws en Sport in Beeld magazine. In the same ten years he witnessed these different groups come to the realization of their common language, identity, and destiny as people of one Indonesia. All the while, his brother Frans had become a political fugitive. He had escaped the Dutch Intelligence in the island of Bali and went into hiding in the eastern port city of Surabaya, masquerading as a cigarette vendor. He was adopted by a salt merchant, became a Muslim, then reunited with his brother in Batavia. There, he found temporary refuge in the proverbial lion’s den, working for the Java Bode. Nonetheless, when war came to the Pacific, their friend Justus Umbas was thrown in jail, along with other nationalists leaders who had refused to cooperate with the Japanese authority. Alex and Frans Mendur were promptly drafted by the invading army to make propaganda pictures for Domei, Asia Raya and the Djawa Shimbun Sha.

Having fought for so long on the front-line of high idealism and pragmatic professionalism, IPPHOS images instead spoke of tolerance, dignity and respect for all things human. Their founders’ multitudinous experiences had made them view life in broader dimensions and had become not only the source of their nationalism, or of the breadth and width of their photographs, but also of their strong independent character.

It was much the same front-line and principle that photographers fought for in the 1970s and 1980s. The difference was that the war had shifted from the combat zone of yore to the mock-up room and printed page of the magazines and newspapers. As editorial staff became entrenched in their divisional structure, photographers had to battle writers and designers for the picture’s rightful and proportionate place in the papers.

Therefore, the contemporary readers may want to re-read the first chapter of Mat K6dak (Ed Zoelverdi, 1985) as an amusing text on the art of compromise. The book, one of the very few published in Indonesia on the subject of photography, was quite popular among aspiring journalists and the general public. For a time, its title had even become the layman’s term for the photography profession. Using clever analogy that compared editorial operation to cooking process, and pictures to dishes, Ed Zoelverdi stressed the importance of collaborative work in the newsorganization.

Mat Kodak was, however, written as a hindsight. It was, in a way, Ed Zoelverdi’s reflection on his success and failure as’ the first picture editor at Indonesia’s top magazine Tempo. When the book was published, the Indonesian economy was revving up, and newspapers and magazines were just about to reach their peak in terms of circulation and advertising revenue. The use of photography in the press was at its all time high. But it was going nowhere. A decade worth of exciting adventure – in creating and editing pictures, in thinking about the problem of montage of text and images, in designing the printed page -was slowly running out of steam. Like anywhere else, as publications became larger and successful:

“they became increasingly dependent on a rational bureaucratic structure … The photographer would no longer be a loose canon in the corridors of history, but a disciplined member of a team, whose collaborative effort would be directed and edited by men in positions to see and understand the larger picture.”

Money drove the country in the 1970s and particularly in the 1980s. Two decades of political experiments and demagoguery had culminated in the failed communist party coup of 1965 and its bloody aftermath. Afterwards, the search for the higher disposable income would replace politics as the nation’s highest commander. Despite widespread illiteracy and a tattered economy, but in the absence of a strong electronic media, newspapers and magazines were told to compete not for the heart and soul of the populace, but for their pockets and wallets.

Thus, the transformation of the press into the modern corporate organization. What the industry lacked in experience and formal training, however, it more than made up by the talent and youthfulness of its practitioners. Tempo magazine, for example, was established in 1971 by poets, student activists and painters in their twenties and early thirties. A few years later, the Femina women’s magazine would be founded and run by a family with one of the strongest pedigree of intellectualism and culture in the country. And in their picture desk, a novel breed of hired people: the full-time staff photographers.

Unlike in the West, the growing prominence of print media did not stimulate the photo agencies. On the contrary, it merely coincided with their receding importance. After the failed communist coup of 1965, Antara was purged and their photo archive incinerated. The agency would not have a proper photo bureau again until the early 1980s. IPPHOS was spared this ordeal thanks to its independence, but by then, the family run management wasn’t doing well. Thus, in the absence of proper photography formation (the first photo school would not be established until 1992 at the Jakarta Institute of the Arts), in the beginning of the 1970s photo departments would be manned by a different kind of cameramen. People such as Ed Zoelverdi (1943-), who had started his career making illustrations and caricatures in various publications, and had even studied painting with two of the country’s most prominent artists. He tried his hands writing news and at the mock-up desk, before joining Tempo in 1975. Another example, was his chief competitor at the Kompas daily, Kartono Riyadi (1945-), who taught himself photography in 1965 from reading Popular Photography at Jakarta’s second-hand book stalls. He studied architecture and took night course at the film academy, none of which he completed. He entered Kompas in 1971 and was only recently retired after holding the position of its first photo editor for fifteen years.These were the new generation of the nearly artistic, the autodidacts, the reticent visual genius, and the graphic school and film academy drop-outs.

In the early days, however, their lack of formal training was the source of the magazines’ and newspapers` enterprising look. Working in a loosely structured organization and relying mostly on intuition, photographers, writers, and art directors would liberate text, image and space from their previous unequal status: all became important and none was sacred. Particularly in the magazines this concept was furthered by designers and picture editors, who were inspired by the flexibility of the photomechanical reproduction as a way to circumvent the paucity of photography equipment and the low quality of the paper used in most publications. They would place an extremely cropped photograph to create an illusory stretching of the dimension of the page, sequenced the same suit of pictures to convey motion and time, collaged found and created images to unfold an association of meanings, and even took advantage of the printer’s one-dimensional blacks to emphasize moods. Thus, the message of a story was defined as much by the form and composition of the text, images and space on the page, as it was by their content.

Unfortunately, what made the system work in a small and innovative environment became its undoing once papers became more commercially ambitious. Since the government limited advertisements to only 35 % of a publication’s content, newspapers and magazines would push for more editorial pages as a way to proportionally increase their advertising space and revenue. Consequently, designers, picture editors and photographers could no longer treat each page and each article as an individual problem requiring unique solution. When an edition of Tempo reached over 100 pages, for instance, its newsroom operation resembled the assembly line principal, with photographers and designers positioned somewhere at the middle and very end of the conveyer belt. Furthermore, the magazine’s design was standardized: one page equals a body of text plus two columns of a rectangular photograph. A picture became something to fill-in leftover space after the rest of the page had been completed with title and text.

Nonetheless, in the mid-1980s there were half-hearted attempts to give more room for photography. Tempo had “Kamera,” a four-page section that presented or reinterpreted feature stories in the form of photo essay. It was a success and, in 1991, Tempo’s readers even voted it the sixth most popular rubric out of a selection of twenty-seven. Other print media follow suit and, thus, well until the early 1990s, newspapers and magazines continue to be regarded as the best place for photographers to first establish their reputation. Consequently, some of the era’s strongest images – be it press or commercial or fashion -were originally seen on the back covers and special sections of Kompas, Tempo or Femina. These easily available pictures, in turn, became the inspiration for many aspiring photographers.

For a while, there arose the optimism that the printed page was becoming the photographer’s canvas, gallery wall and classroom all at once. Unfortunately, in the long run it merely resulted in photographs and their photographers being viewed by the general editorial staff as esoteric, and further isolated the medium from the other components of newsprint. The placement of photographs in an exclusive space such as Tempo’s “Kamera” instead diverted photographers’ attention and energy from the other sections of the magazine, which in actuality were the true battle zones. In fact, the gridlined page simply had become the ghetto of the second class citizens of the art world and print journalism. When papers scaled back their publications in the mid-1990s, the special photo pages were the first to be exterminated.

And outside of the covers, the earth may as well be flat. In the beginning of the 1990s, Indonesian professional photographers abruptly woke up from their illusion, only to discover that the rest of their world was a barren land -in fact, had been forsaken for almost 150 years. Beyond the bound pages of newspapers and magazines, they had no other recourse to create and publish their work. No gallery or museum that exhibits and sells photographs. No curator and almost no art critic to explain and give meaning to the images. No monographs or catalogs, and hardly any reviews from which one can trace the development of the medium. No school or workshop that serves as a laboratory of exchange and regeneration. No communities that give moral and financial support. They only had the pictures in the papers-cheap, democratic, and accessible to a very wide audience, but unfortunately also disposable and, thus, often forgettable.

Like anywhere else, photography’s ambiguous status as an art form might be to blame for this paucity in infrastructure. But in the Indonesian context it was exacerbated by two significant difficulties. For one, there was the former New Order government’s emphasis on the physical and commercial development of the country. For over thirty years culture and art were packaged in terms of their monetary potentials. For state-run museums and cultural centers this had m6ant being stuck with the historic and the curios, as these were what the foreign tourists wanted to see. Meanwhile, in the economic boon of the 1980s, commercial galleries made painting their prima donna because its prestige and inflated price appealed to the local nouveaux-riches’ obsession with the exclusive and lucrative. Consequently, neither of these places would dream of opening their hallowed corridors to something as unclassifiable and common as photography. As for education, because photography had always been perceived as a practical sort of profession or craftsmanship, it was not significantly represented either in the curriculum of art schools or in the universities.

The second dilemma was the singularity of the medium’s history in Indonesia. In previous sections this has been examined from the perspective of social backgrounds, photographers` aspirations, and thematic choices. At this juncture we need to give further emphasis to the manner in which photography had been circulated and presented to the public, since the nineteenth century until recently. That is to say that for over a century and a half, photography in the archipelago had been made for the predominant purpose of placing and arranging them between two covers, to be read not as photography but as accompanying illustrations in special edition portfolios, souvenir albums, science and history text books, and ultimately newspapers and magazines.

A case in point is that although the Netherlands had exhibited38 photography as fine art since the 1860s, there is yet little evidence to support that its colonial counterpart in the Dutch-Indies had similar consideration. Even when at the end of that period the railway hung photographs in its carriages and the photo store Charls & van Es & Co. had their own exhibition space, it would still difficult to argue that the photographs were shown as anything more than to illustrate some scientific, political or trade-related purpose. The irony was that this was true also of the photographs of Antara and IPPHOS, and truer still of the prosperous recent times. Until 1992, the only consistent and continuous photo exhibitions in town would have been the soft-focus portraits of aspiring models pinned to the walls of photo studios and print-processing labs. Of course, there was the Salons of the amateur photography clubs which had been exhibiting the work of their members as early as 1923. Unfortunately, since the audience had always been exclusively from their own milieu and the shows restricted to once a year in the clubhouse, their influence as a whole was always limited.

Then, in the middle of 1992 the Jakarta Institute of the Arts became the first in the country to finally upgrade its photography classes to a major study, capitalizing on the growing demand for professionally educated photographers, especially in the commercial and journalism field. In September, the independent curator, Jim Supangkat launched his ideas on contemporary art and post-modernism by organizing the Jakarta Art and Design Expo 1992 that not only included recognized masters and new artists, but also showed everything from oil painting to steel settee and photography. Furthermore, the exhibition displayed images by five prominent photographers, each representing a major photography approach (Firman lchsan, fashion portrait; Fendi Siregar, fine art; Yudhi Soerjoatmodjo, documentary; Tara Sosrowardoyo, travel; and Darwis Triadi, glamour photography) which hitherto the general public had never seen together in the same room, let alone in the presence of other art work. By the end of the year, Antara revived its once neglected historic office in central Jakarta, and thus its corporate image, by inaugurating the Galeri Foto Jurnalistik Antara, “the first public gallery in Asia, devoted exclusively to photography,” on the building’s main floor.

Within the next seven years, however, these seemingly unrelated events would profoundly transform the stature and practice of Indonesian photography. One reason is that, in addition of having occurred almost concurrently, the heterogeneity of activities resulting from each organization’s particular objective actually contributed in the ventures reaching a wider and more diverse audience than would have been possible with a single institution or individual. Over time, they would even be thought of as one integrated movement.

Furthermore, like most successful projects in a developing country, they were the initiatives of private and semi-private organizations that had the wisdom to back their endeavor by using professionals from outside their usual bureaucratic structure. The Galeri Foto Jurnalistik Antara, for example, was one of the first public gallery to employ a full-time curator with extensive autonomy to develop programs and raise funds, something that is still not conceivable in present day state-run museums. The Jakarta Institute of the Arts photography course was headed and taught by what Szarkowski had earlier observed in the United States as “a new class of photographic role model: photographers who were famous.” Consequently, their genuine success encouraged other enterprises. In 1994, the Indonesia Institute of the Arts in Yogyakarta would establish a Bachelor’s degree in photography. Three years later the number of universities and academies in the island of Java offering various photography diplomas had more than tripled. Meanwhile, Jim Supangkat’s commitment to establish photography within contemporary art resulted in the medium being included, for the first time, in the prestigious the 9th Biennial of Contemporary Art, Jakarta 1993~94. The controversy of this move, thereupon, would further photography’s status as a cause-celebre among current artists and curators and ensured its presence in alternative international venues.

More important, however, is the non-elitist stance of the forerunners. The Galeri Foto Jurnalistik Antara is a good example. It’s founding was motivated as much by Antara’s business strategy to overhaul its past image as a conservative quasi-government agency, as it was by a social commitment for the rejuvenation of photography and general culture in the country. This was underlined by its not-for-profit status and vigorous activities which emphasizes educational and out-reach programs for young people and the common public. Consequently, 60% of its annual visitors categorized themselves as “ordinary citizens!’ The 40% who are photographers came from every field of practice, an interaction that would have been inconceivable even a few years ago. Out of the total, 90% are grouped in the nineteen to thirty years old age bracket, 50% of which have monthly disposable income of less than Rp. 300,000 (US$ 45 or V4,500 at the current rate).

It follows that in this kind of environment, photography functions simultaneously as visual communication and art object. For this reason, speakers at the Galeri Antara have included anthropologists, fiction writers, sex workers, architects, and philosophers beside internationally renowned photographers. Consequently, this practice has managed to steer photography away from the modernist pitfall of western experience where art museums and archives had reduced “the formerly plural field’,46 of photography … to the single, all encompassing aesthetic. Instead, as have been predicted by Photo Asia as early as 1994, photography in today’s Indonesia continues to be “very much part of society,” serving the purpose of knowledge and information as well as artistic expression.

Somehow, this elicited a sympathetic response from the Indonesian general public. As proof: despite the non-existence of any kinds of art endowments and art market for photography in Indonesia, but perhaps as a public rebuttal to this situation, 84 % of the Galeri Foto Jurnalistik Antara’s funding actually came from membership subscription, corporate sponsorship, and through collaboration with foreign cultural centers. Because of this, between 1994 and 1998 the gallery was able to organize fifty exhibitions -some of them important international productions, while a few which had originated from the gallery had been shown in prestigious spaces such as the Photographers’ Gallery in London, the United Kingdom-and over 100 education programs. Thus, the greatest accomplishment of the period was the creation of a new place for photography that weren’t merely alternative but  truly collective.

However, from our discussion we have seen how for the most part photography in Indonesia progressed not in a linear fashion but, much like its social history, in leaps and bounds-as much the result of circumstances as the separate acts of a few courageous people. Ignorant of history and conventions, its singularity and accomplishments were spurred by an incessant need to define and redefine its function and space. The simultaneous emergence of formally educated photographers, the acceptance of photography in art spaces, and the publications of important books and catalogues perhaps will be the foundation that will finally instill an awareness of tradition and historiography among its practitioners and users.

On the other hand, examining photography’s central role in current art practice, Douglas Crimp wrote ‘ that:

“Not only has photography so thoroughly saturated our visual environment as to make the invention of visual images seem archaic, but it is also clear that photography is too multiple, too useful to other discourses, ever to be wholly contained within traditional definitions of art. Photography will always exceed the institutions of art, will always participate in non-art practices, will always threaten the insularity of art’s discourse.”

Hence, It would be interesting to see what the recent phenomenon will bring to photography practice in the next millennium, how it will face the opportunity and challenge of cyber space while, at the same time, the economic crisis had sapped much of the nation’s wealth and energy. Already, the reformation movement in the country is posing new problems with the presence of around 1,200 new press publications, a five-fold increase, over the last one year and a half. 

And thus, this essay ends not with an answer, but with new Challenges.

Yudhi Soerjoatmodjo
i_see@indo.net.id

Source from http://www.angelfire.com

June 4, 2011

Kisah Wayan Mertayani yang Menjuarai Lomba Foto Internasional berkat Kamera Pinjaman

Kisah Wayan Mertayani patut diacungi jempol. Meski tak punya kamera, gadis 16 tahun asal Karangasem, Bali, itu berhasil menjuarai lomba foto internasional di Belanda. Mei tahun lalu, dia bahkan diundang ke Negeri Kincir Angin tersebut. Kini, Wayan sedang menunggu hadiah uang yang dijanjikan dengan harapan bisa mengurangi kemiskinan keluarganya.

———————————————
CHAIRUL AMRI S., Karangasem
———————————————
Siang itu, langit di atas Pantai Bias Lantang tampak mendung. Meski demikian, pantai di Desa Purwakerti, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, tersebut terlihat indah dipandang. Di pinggir pantai itu, terdapat sebuah rumah sangat sederhana, berukuran sekitar 3 x 4 meter. Semua dinding rumah tersebut terbuat dari gedek (anyaman bambu) dan beratap seng.Itulah rumah Wayan Mertayani. Sehari-hari, gadis 16 tahun tersebut tinggal bersama ibunya, Ni Nengah Kirep, 45, dan adiknya, Ni Nengah Jati, 13. Untuk menyambung hidup, Kirep beternak ayam yang jumlahnya hanya belasan ekor. Selain itu, dia menjadi pemulung barang-barang bekas. Ketika Radar Bali (Jawa Pos Group) berkunjung ke rumahnya siang itu, Wayan sedang bersiap-siap berangkat sekolah. “Saya sekarang kelas satu SMA,” kata Wayan yang akrab disapa Sepi itu karena lahir pas hari raya Nyepi.Melihat kehidupan sehari-hari Wayan yang jauh dari kesan berkecukupan, mungkin tak akan pernah ada yang mengira bahwa gadis berwajah manis tersebut menjadi juara lomba foto internasional di Belanda. Tapi, itulah yang terjadi.Bagaimana ceritanya? Semua itu bermula ketika Wayan berkenalan dengan Mrs Dolly Amarhoseija, turis asal Belanda, Juli 2009. Dari perkenalan tersebut, hubungan mereka kian akrab. Wayan yang sejak kecil bercita-cita menjadi wartawan tertarik pada kamera milik Dolly.

Oleh Dolly, Wayan diajari cara memotret. Selanjutnya, kamera digital itu dipinjamkan Dolly kepada Wayan. Betapa gembiranya Wayan saat itu. Berbekal kamera pinjaman milik Dolly, Wayan memotret sejumlah objek di sekitar rumahnya.

Di antara belasan objek yang dibidik Wayan, ada salah satu objek yang menarik perhatian Dolly yang memang menekuni bidang fotografi tersebut. Objek itu adalah potret pohon ubi karet dengan dahan tanpa daun yang tumbuh di depan rumah Wayan. Seekor ayam bertengger di salah satu dahan tanpa daun itu. Ada juga handuk merah jambu dan baju keseharian yang dijemur di bawahnya.

Karena dianggap bagus, atas seizin Wayan, foto tersebut dikirim Dolly ke Belanda untuk mengikuti lomba foto internasional 2009 yang dihelat Yayasan Anne Frank. Tak disangka-sangka, hasil jepretan Wayan dengan objek pohon ubi karet dan ayam itu ternyata memikat 12 fotografer dunia dari World Press Photo yang menjadi juri dalam ajang lomba tersebut. Objek yang dibidik Wayan itu pun akhirnya ditetapkan sebagai juara karena dianggap sangat tepat dengan tema dalam lomba tersebut: Apa Harapan Terbesarmu?.

Kabar membanggakan itu diterima Wayan akhir Desember 2009 melalui Merry. Dia adalah pemilik vila Sinar Cinta di Karangasem, Bali, yang juga teman Dolly. Atas prestasi tersebut, Wayan diundang ke Belanda pada 3 Mei lalu untuk menerima langsung hadiah. Yakni, kamera saku digital, laptop, serta uang Rp 40 juta.

Mengapa membidik ayam yang sedang bertengger di pohon ubi karet itu? “Ayam itu adalah simbol diri dan kehidupan keluarga kami. Ayam itu kalau panas kepanasan dan kalau hujan kehujanan. Sama seperti saya,” jawab Wayan. Lebih lanjut, dia menceritakan, meski punya rumah, rumah yang dia tinggali itu tak ideal disebut rumah. “Karena atapnya seng, kalau panas kami kepanasan. Kalau hujan, kami kehujanan. Sebab, atapnya banyak yang bocor,” ceritanya.

Ketika ditanya, apakah ada yang berubah setelah dia berhasil meraih juara bergengsi itu” Wayan hanya tersenyum. “Nggak ada yang berubah. Sama saja seperti dulu. Kami masih tinggal di gubuk ini. Kalau pun ada yang berubah, ya, saya banjir sanjungan, he” he” he?,” kata Wayan dibarengi tawanya yang renyah. Terutama sanjungan dari teman-teman sekolah dan bapak/ibu gurunya.

Wayan mengakui, sejak dia mendapatkan penghargaan dari Yayasan Anne Frank, pandangan orang terhadap keluarganya berubah. Dulu, baik dia maupun ibunya kerap menuai cibiran dari sebagian warga. Meski demikian, apa yang pernah dia raih, rupanya tak membuat Wayan besar kepala. Dia masih tetap menjalani hidupnya seperti sebelum mendapatkan penghargaan. “Tentu saya bersyukur. Tapi, saya juga tidak mau berlebihan,” kata penggemar berat novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata ini.

Wayan mengatakan, hidup keluarganya memang masih jauh dari berkecukupan. Ayahnya meninggal, sejak Wayan masih balita. Untuk menyambung hidup, ibu Wayan bekerja serabutan. Selain beternak ayam dan menjadi pemulung, sang ibu, Kirep, juga berjualan makanan di tepi pantai. Tapi, untuk aktivitas ini, Kirep mengaku terpaksa berhenti. Itu karena sebulan terakhir ini kesehatannya terganggu. “Ibu saya terkena gangguan ginjal. Sebenarnya sejak 2003 lalu. Tapi, akhir-akhir ini sering kumat,” papar Wayan yang kisah hidupnya telah dibukukan dengan judul  Potret Terindah dari Bali ini.

“Ginjal kanan saya kumat lagi. Kalau angkat yang berat-berat terasa sakit,” ujar Kirep, yang siang itu mendampingi puteri sulungnya. Dengan kondisi seperti itu, Kirep lebih banyak di rumah. Pagi hari dia hanya memulung. Selesai itu, dia pun kembali ke rumah untuk memasak serta mengurus ternak ayam serta kambing yang dia gembalakan di pinggiran pantai.

Dari ternak-ternak itulah, keluarga Kirep melanjutkan hidupnya. Kadang kala, dia terpaksa menjual kambing agar Wayan dan adiknya, Jati, bisa bersekolah. Termasuk, untuk makan sehari-hari bagi keluarganya.

“Seminggu lalu, saya terpaksa menjual ayam. Laku Rp 50 ribu. Kebetulan uang itu untuk biaya sekolah Wayan dan Jati,” katanya. “Tiga minggu lalu saya melepas satu ekor kambing untuk dijual. Soalnya saya sudah bingung cari uang dapur dan uang untuk sekolah anak-anak saya,” tambahnya, dengan kedua mata menerawang.

Saat ini, Wayan sedang menunggu hadiah uang senilai Rp 40 juta yang menjadi haknya atas prestasi yang diperoleh di Belanda. “Uang itu sedang diurus Bu Merry,” kata Wayan, dengan mata berbinar penuh harap. Dia mengatakan, uang itu rencananya untuk membeli tanah, selanjutnya dibangun rumah. Sebab, rumah yang ditempati Wayan saat ini, bukan lah rumahnya sendiri. “Rumah itu bukan milik kami. Kami hanya disuruh menempati oleh orang yang kasihan dengan nasib kami,” tutur Wayan.

Dengan nada bergetar, Wayan menceritakan, bahwa semula dia tinggal di rumah kakek dari ayahnya. Tapi, setelah sang ayah meninggal, tanpa alasan jelas, Kirep, Wayan dan adiknya  yang saat itu masih balita, diusir oleh keluarga sang kakek. Selanjutnya, Wayan tinggal di rumah kakek dari ibunya. Di sini pun, nasib Wayan tak mujur.

Tak berapa lama, Kirep, Wayan dan adiknya juga diusir. Beruntung, dalam kondisi terkatung-katung itu, ada seorang yang iba. Dia adalah pemilik lahan pengeringan garam yang terletak di pinggiran Pantai Bias Lantang, Desa Purwakerti, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Di atas lahan itu, kebetulan ada rumah, dan Kirep diperbolehkan tinggal di sana bersama dua anaknya, sampai sekarang.

Kisah pilu Wayan ini sudah dibukukan dengan judul Potret Terindah dari Bali yang disusun Pande Komang Suryanita. “Saya sangat berharap mendapat royalti dari buku itu. Rencananya akan kami buat tambahan membeli tanah dan membangun rumah,” katanya.(jpnn/kum)

Sumber artikel diambil dari Jawa Pos National Network (JPNN)

May 30, 2011

Kisah Sedih Media Fotografi

Oleh Karlina

Dunia fotografi berduka. Berbagai media fotografi yang muncul menghiasi berpamitan satu per satu. Media fotografi berguguran seperti daun kering yang diserang ganasnya tantangan. Perkembangan dunia fotografi rupanya tidak diikuti dengan cerahnya penjualan media fotografi. Apa yang menjadi penyebabnya?

Perkembangan fotografi menyesuaikan zaman. Sejak zaman dulu manusia berusaha mendokumentasikan peristiwa. Terlihat dengan adanya gambar-gambar pada dinding gua, kulit kayu, kulit binatang, relief, dan lainnya. Kebutuhan untuk mengabadikan peristiwa dapat terwujud dengan kemunculan fotografi. Dunia fotografi di Indonesia boleh bangga. Indonesia hanya membutuh waktu dua tahun untuk mengenal fotografi sejak ditemukan pada 19 Agustus 1939 oleh Louis Jacques Mande Daguerre.

Pergolakan politik Indonesia pata tahun 1998 memunculkan dominasi foto esai dan jurnalistik. Memasuki abad 21, perkembangan teknologi mulai memasyarakat. Kemajuan teknologi menunjang kemajuan peralatan fotografi menuju digital. Olah digital memancing kreativitas fotografer. Masyarakat lebih sadar teknologi. Fotografi memasyarakat dengan kemudahan fasilitas yang ditawarkan kamera digital.

Riadi Rahardja, pemilik sekolah fotografi INOVA, merasa turut berduka karena kematian media fotografi. “Banyak orang yang merasa kehilangan, terutama di daerah yang sulit untuk belajar fotografi,”ujar Riadi. Media fotografi banyak yang bangkrut karena kurang baik dalam menangani bisnis. Market yang ditujukan juga terlalu sempit karena membahas fotografi dasar berarti mengambil market amatir serius yang jumlahnya sangat sedikit.

Jika media fotografi dapat membentuk suatu spesialis mengingat perkembangan media sekarang banyak yang khusus komunitas. Secara prinsip, pemilik media menilai itu peluang bisnis. Misalnya, media kawasan Kelapa Gading di Jakarta. Media berdasarkan kawasan, belum  berdasarkan minat atau hobi. “Sebetulnya media fotografi masih punya peluang,”tegas Riadi. Hanya masalahnya bagaimana menggarap dan menilai siapa yang membutuhkan fotografi.

Urusan iklan harusnya tidak menjadi masalah. Tapi, sering kali medianya sendiri yang membatasi iklan hanya dari pengusaha fotografi saja. Padahal jika seorang mampu membeli kamera digital belasan juta, maka ia mampu membeli barang mahal lainnya. Di sini pemasang iklan mencari celah. Bisa iklan mobil, barang seni, atau lainnya.

Indonesia tidak bisa menghasilkan media yang sangat segmented.Media fotografi Indonesia masih general dan berusaha menjawab semua permasalahan. Literatur fotografi hampir tidak ada. “Jangan-jangan kemampuan menulis hanya sampai fotografi dasar saja,”kata Riadi. Pria lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi jurusan Hubungan Masyarakat tahun 1983 ini mengeluhkan tidak adanya media fotografi yang mampu memberikan penjelasan detail tentang lighting studio. Peletakan alat studio tidak dijelaskan, hanya diberikan contoh hasil. “Jika ada media fotografi yang bisa membahas hal seperti itu mustinya akan ditelah oleh orang-orang professional,”kata Riadi.

“Minat bacanya masih kurang,”kata Aceng Abdullah, Dosen Fotografi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran jurusan Jurnalistik. Orang lebih senang bertanya daripada harus membaca buku untuk mendapat ilmu fotografi.

Masyarakat Indonesia juga kekurangan daya beli sehingga walau tertarik sekalipun tidak mampu membeli media fotografi yang relatif mahal itu. Media fotografi harus banyak berjuang untuk memasyarakatkan fotografi diIndonesia.

Buletin PAF, Sesepuh Media Fotografi

Klub foto amatir berhasil bertahan selama 80 tahun di Indonesia. Eksistensinya pun tidak diragukan karena telah banyak mencetak fotografer andal dengan karya yang mengagungkan. Perhimpunan Amatir Foto (PAF) lahir pada 15 Februari 1924 dari sebuah pertemuan di Hotel Preanger, Bandung. Preanger Amateur Fotograafen Vereeniging, nama awal PAF, menjadi klub foto tertua di Indonesia yang masih aktif. Penggantian namaPreanger Amateur Fotograafen Vereeniging menjadi Perhimpunan Amatir Foto, secara de facto pada tahun 1954 ketika  Indonesia melaksanakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Tapi, secara de jure baru terlaksana tahun 1972.

Prof. C.P. Wolff Schoemaker, seorang arsitek Belanda lulusanTechnische Hogeschool-Bandoeng (sekarang ITB) yang karyanya antara lainGrand Hotel Preanger (Hotel Preanger), Villa Isola (Rektorat Universitas Pendidikan Indonesia), Het Sterrewacht Bosscha(Observatori Bosscha, Lembang), Het Gebeo Gebouw (Kantor PLN, Bandung), De Groote Kerk(Gereja GPIB-Bethel), dan De Kathedraal (Jalan Merdeka) merupakan pengurus dan pencipta logo PAF pertama.

Anggota PAF menjadi bagian dari sejarah dengan foto-foto peristiwa keganasan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), Januari 1950, dengan tokohnya Kapten Westerling. Njoo Swie Goan (alm), anggota PAF, mengabadikan foto Kapten Lembong yang terkapar di jalan sebagai bukti sejarah.

Buletin PAF bermula dari tiga lembar bulletin yang bernama De Lens, yang tanggal terbitnya 10 Maart 1937 (nomor 3) dan Agustus 1937 (nomor 8) berisikan informasi tentang Het Eerste Nederlandsch-Indische Fotosalon(Juli-Agustus 1937) dan rencana Het Tweede Nederlandsch-Indische Fotosalon (25 Juli-2Agustus 1938). Foto yang masuk datang dari Pulau Jawa, Sumatra, Borneo, dan Celebes, bahkan dari luar Hindia Belanda, karena melibatkan peraturan pabean untuk izin masuk karya foto.

Sesepuh fotografi Indonesia, Prof. DR. R.M. Soelarko, menjadi motor penggerak PAF bersama Dr. Ganda Kodyat (alm) dan dibantu Dr. A. Kamarga (alm) selama tahun 1950-an dan paruh awal 1960-an. Generasi penerusnya terdiri atas Leonardi Rustandi (alm), Ir. Iin Hardiono, Ir. Ridwan Gunawan, Dr. J.O. Wuisan, Estian Agustia, dan Drs. Budi Darmawan, menerbitkan Bulletin PAF yang menjadi cikal-bakal Majalah Foto Indonesia, tahun 1969. Majalah Foto Indonesia menyelenggarakan event berjudul Lomba FI 1970, yang mempelopori Salonfoto Indonesia dan Federasi Perkumpulan Senifoto Indonesia pada 30 Desember 1973 di Taman Ismail Marzuki,Jakarta. Majalah Fotografi Indonesia berkembang menjadi MajalahFotomedia di tangan manajemen Kompas-Gramedia Group (1993-2003). Tulisan-tulisan Prof. DR. R.M. Soelarko, Leonardi Rustandi, Dr. A. Kamarga, dan Ir. Iwan Zahar, memperkaya pustaka fotografi lewat media fotografi.

Kepemimpinan PAF kini sudah beralih ke Dedy H. Siswandi.Bulletin PAF merupakan usaha warisan dari kegiatan PAF sebelumnya. Bulletin PAF menjadi sarana komunikasi antar anggota tampak lebih baik dari  mengalami kemajuan bentuk. Produk  yang ditampilkan sudah bermacam-macam. Media fotografi perlu terbuka untuk berbagai macam pemasang iklan, mulai dari Rp 30,000,. Bullein PAF adalah tanda eksistensi PAF di masyarakat fotografiBandung.

Pendanaan tidak lepas sehingga Bulletin PAF sanggup hidup hingga saat itu. Bulletin yang dibagikan secara gratis didanai dari iuran anggota fotografer. Iklan yang muncul merupakan perkembangan dari pendanaan. Iuran anggota PAF hanya Rp 100.000,00 per tahun. Dengan oplah 500 eksemplar, Bulletin PAF menjadi sarana media komunikasi anara anggota aktif dan pasif sehingga nilainya tinggi.

Bulletin PAF juga tidak lepas dari berbagai tantangan. Tahun 1998, saat krisis moneter melanda Indonesia Bulletin PAF terkena imbasnya. Bulletin PAF berhenti beredar. Molojaknya harga kertas menyebabkan Bulletin PAF hanya mampu hadir dalam bentuk newsletter pada tahun 2001-2002. Tapi, setelah memasuki tahun 2004 dibuat bulletin yang lebih baik.

Karakteristik kegiatan PAF merupakan wadah para amatir yang tidak berprofesi, tapi hobi fotografi, ada yang jobless yang akhirnya menjadi fotografer dan membuat media fotografi. Dalam menjaga komunikasi, PAF juga memiliki milis Bandung PAF. Namun, tidak semua bisa mengakses karena tidak aktif menggunakan internet. Pertemuan rutin setiap bulan di sekretariat PAF dan di sana dapat melihat papan komunikasi yang ada.

Jika ingin membandingkan, media fotografi di luar negri lebih spesifik daripada media fotografi di Indonesia. Misalnya, ada yang hanya berisikan perkembangan peralatan. Perkembangan teknologi digital juga dinilai menarik. Teknik konvensional kadang mencapai titik jemu karena bahannya kurang berkembang. “Segmen fotografi dasar itu selalu ada,”kata Dedy H. Siswandi. Fotografi dasar harus tetap menjadi sisipan dalam media fotografi Indonesia.

Indonesia lama untuk mencapai tahap spesifikasi media fotografi. Di luar negri bisa berkembang majalah-majalah yang terspesialisasi seperti fotografi outdoor, alat, binatang, dan lainnya. Bisnis media fotografi di luar negri bisa subur karena memang banyak pembelinya. Bahkan, orang yang tidak tertarik dengan fotografi juga membelinya karena menarik.

Konsep Bulletin PAF juga general sama seperti media fotografi lainnya. Seperti biasa karena untuk menjawab kebutuhan banyak pihak. Pembahasan berita utama biasanya tentang kegiatan yang aktual, info-info kegiatan dan lomba merupakan yang paling digemari. Galeri yang diletakkan di tengah majalah harus ada untuk mencirikan Bulletin PAF sebagai media fotografi.Galeri foto diambil dari pemenang-pemenang loba foto bulanan. Topik lepas dalam Bulletin PAF merupakan artikel kiriman anggota yang berisikan cerita tentang perjalanan ke tempat tertentu untuk hunting foto. Bahan info tentang teknis digital, konvensional, kamar gelap diambil dari majalah luar negri atau kiriman artikel dari anggota PAF.

PAF tidak membahas content foto karena foto-fotonya lebih menganutgaya salon foto¾foto yang mengutamakan kecantikan penampilan dan teknis kamera¾ tidak seperti foto jurnalistik. Bulletin PAF sempat menuliskan tentang fotografi sebagai seni. Namun, jangkauannya jadi terlalu luas. Pembacanya sendiri lebih menggemari pembahasan teknis kamera dalam pemotretan. Dalam penjuarian foto bulanan PAF lebih mengutamakan ide atau kreativitas, komposisi dan mutu cetak. Misalnya, sala satu kaya foto Dedy yang diambil tahun 2000 dengan teknis ditigal. Hal itu dinilai menarik karena temanya waktu itu tidak umum.

Ketika Fotomedia ditutup, banyak anggota PAF yang berduka. Akhirnya, mereka memilih media fotografi. Majalah lebih mudah dinikmati karena bisa dibaca sambil tidur-tiduran. Berbeda halnya dengan internet yang menyita waktu untuk duduk di depan komputer. Tapi, situs fotografi memudahkan orang untuk mengakses ilmu fotografi, seperti website fotografer.net. Fotografer juga lebih berani memamerkan hasil karyanya karena hanya tinggal menguploadfoto.

Tulisan sangat diperlukan dalam menjelaskan ide sebuah foto. Kepala fotografer dipenuhi oleh gambar sehingga kemampuan menulis kurang. “Foto bisa bicara, tapi bisa diperkuat dengan tulisan,”kata Dedy. Dengan menulis, konsep foto bisa tersampaikan. “Harus punya kemampuan verbal, baik menulis maupun lisan. Tidak hanya bisa memotret,”menurut Dedy.

Kematian media fotografi dapat disebabkan masalah komersil. Tapi, mungkin tidak direspon oleh masyarakat karena isinya kurang menarik. Segmen fotografi sangat sempit. Tapi, sekarang fotografi mulai memasyarakat lewat kamera digital. PAF juga berusaha memasyarakatkan fotografi dengan lomba Rally Foto yang bekerjasama dengan Fujifilm. Rally Foto lebih menekankan bukan pada sisi teknis pemotretan, tapi menjawab soal yang diberikan dengan gambar. “Itu salah satu cara untuk menggairahkan fotografi di masyarakat. Jika masyarakat terus-menerus dijejali media fotografi, mungkin akan bertambah komunitasnya,”kata Dedy.

Fotografi sebagai dunia seni memang tidak pernah usai. Kita tidak akan pernah usai mencari ilmu. Setiap foto memiliki psoses kreativitas. “Saya melihat majalah-majalah lama. Karena di kepala saya sudah ada konsep dan tujuan, begitu melihat foto saya terinspirasi. Inspirasi bisa datang dari mana saja,”kata Dedy. Tapi, tidak hanya berhenti di situ saja. Proses akhir harus tetap “eksekusi” dengan mencari objek yang akan difoto. “Biasanya trigger ide-ide muncul dari majalah-majalah,”kata Dedy.

Seorang pelukis dalam mencari ide sebelumnya melakukan kontemplasi. Pelukis itu bisa terinspirasi dari novel atau yang lain. Banya cara untuk mendapatkan ide. Perbedaan fotografer dengan pelukis terletak pada eksekusinya. Pelukis tinggal menuangkan idenya dalam kanvas, sedangkan fotografer harus terus mencari posisi akhir eksekusinya.

Teknis dalam media fotografi sangat diperlukan. Tapi, media fotografi harus memunculkan inspirasi baik dari tulisan maupun teknis.”Saya sampai sekarang punya ide, tapi tidak dapat dieksekusi karena kemampuan teknis saya kurang,”kata Dedy. Setiap fotografer memerlukan kehadiran media fotografi untuk mengapresiasi banyak foto untuk mengasah kemampuan. Mungkin, hal ini yang dapat menjadi celah untuk media fotografi yang hidup nanti. Semoga masih banyak cara untuk menghidupkan kembali media fotografi yang sudah mati.

Menelusuri Jejak Media Fotografi Indonesia

Media fotografi hadir menghiasi dunia fotografi sebagai media pembelajaran. Banyak fotografer yang mengalami metamorfosa dari ketidaktahuan hingga mencapai tahap professional. Tapi media fotografi harus bicara pada khalayak pembaca yang beragam. Pilihan yang muncul menjadi kendala di kemudian hari. Apakah kebutuhan semua khalayak fotografi harus disajikan dalam satu media? Hal ini berakibat media fotografi seakan ingin berlomba menjawab semua segmen. Tapi, pada akhirnya tidak semua segmen merasa terpuaskan.

Perkembangan media fotografi mengalami banyak rintangan. Baik yang muncul dari pembaca, maupun kendala manajemen. Tapi, mengapa sebuah media bisa mati? Kematian media fotografi pun tidak hanya terjadi pada satu penerbit. Media fotografi berguguran satu per satu. Jumlah yang berduka tidak sanggup menahan oplah yang tidak pernah bergeming. Ada apa dengan media fotografi.

Demi menjawab hal tersebut, penulis, Karlina Octaviany mewawancara Galih Sedayu, pekan lalu di Jonas Foto. Pria lulusan Manajemen Industri Universitas Jendral A. Yani ini tergabung dalam Persatuan Amatir Foto, Persatuan Fotografer Indonesia, Komunitas Pemotret Bandung, dan klub fotografi lainnya. Berikut petikan wawancaranya:

Apa saja media fotografi yang Anda ketahui?

Fotografi itu dunia yang luas. Jika bicara tentang media, berarti suatu wadah. Media fotografi yang berkembang di Bandung ada Fotoklik, Fotomedia, dan yang masih aktif Fotoplus. Dulu, Darwis Triadi membuat media fotografi A,walaupun kemuadian mati.  Bulletin PAF yang dibuat secara rutin untuk intern anggota PAF dan dibagikan secara gratis. Dulu, Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) di Jakarta mengeluarkan Fantasma dengan spirit jurnalistik. Hanya keluar beberapa edisi karena terhambat masalah dana sehingga akhirnya ditutup. Media fotografi berupa majalah yaitu Fotoklik dengan Prestige Foto Studio sebagai pengurusnya. Tapi, mati juga sehingga menyisakan sepenggal kecil media fotografi yang lahir dalam bentuk bulletin.

Apa yang menyebabkan media fotografi tersebut mati?

Berdasarkan penafsiran saya, orang membangun fondasi dari atas sehingga tidak kontinyu. Tidak hanya memerlukan spirit untuk menjadi pionir. Tetap diperlukan dana. Coba lihat bulletin PAF sebenarnya bentuk sederhana. Kita usahakan dengan swadaya pun bisa terealisasi. Tapi, untuk media fotografi yang eksklusif mengalami jatuh-bangun karena harus menghidupi karyawannya, dan membiayai percetakan. Jika tidak didukung dengan kemampuan manajemen dan dana, pasti mati. Ada juga media fotografi yang spesialiswedding, bernama My Perfect Wedding. Saat ini telah keluar dua edisi. Kita tunggu sampai berapa lama mereka bertahan? Saya hanya bisa mendukung.

Dalam membangun media fotografi, Apakah kemampuan fotografer harus bersinergi dengan kemampuan menulis?

Tergantung visi dan misi media fotografi itu. Misalnya, bulletin PAF yang berisikan karya-karya fotografer, kegiatan fotografi di Bandung, hunting foto, dan lainnya. Jika Anda melihat media fotografi Fantasma, memang diperlukan kemampuan menulis seperti jurnalis. Karena terdapat foto dan katerangan foto (caption photo).

Bagaimana tanggapan Anda tentang penyeragaman nilai foto dari sisi teknis dan mengabaikan makna foto?

Dalam Fotomedia terdapat rubrik tentang pengambilan teknis. Jika Anda mengirimkan foto ke sana harus dilengkapi dengan data teknis seperti ISO,shutter speed, diafragma, dan lainnya. Tergantung segmen. Jika untuk pemula masih “masuk” karena pemula wajib tahu tentang teknis kamera. Tapi, untuk level tertentu sudah tidak diperlukan teknik, lebih ke content terutama dalam duania jurnalistik. Data teknis dapat diabaikan dengan asumsi bahwa fotografer sudah mengerti teknis, tapi yang penting content. Apakah Anda pernah mendengar fotografer Kevin Carter? Dia memotret anak kecil Somalia yang sedang mengambil makanan. Namun, ketika itu anak tersebut jatuh dan di belakangnya terdapat burung Nazar. Foto itu mendapat Pulitzer, tapi fotografernya mendapat kecaman masyarakatKarena tidak tahan akhirnya fotografer itu bunuh diri. Ironisnya, anak yang jatuh itu tetap hidup. Foto jurnalistik tidak lagi membahas hal teknis, tapi bagaimana foto membawa pesan.

Mengapa media fotografi selalu membahas fotografi dasar?

Mungkin karena pendidikan fotografi di Indonesia tertinggal jauh dengan Eropa. Alat-alat fotografi juga ketinggalan 10 tahun.Jika di sana levelnya sudahadvance, di sini terus membahas fotografi dasar. Mungkin karena kultur orang Indonesia lebih lama menyerap ilmu fotografi dasar atau pengetahuan orang-orang hanya sampai dasar saja. Hal ini mungkin menyebabkan munculnya sekolah-sekolah fotografi atau kursus yang mengkhususkan diri pada fotografi dasar. Tapi, untuk level advance sebaiknya menimba ilmu lebih tinggi lagi. Makanya, banyak yang memilih belajar ke luar negri atau dengan otodidak. Banyak yang belajar dari buku-buku fotografi yang banyak beredar.

Menurut Anda, lebih efektif mana belajar lewat buku atau majalah?

Sama saja. Tapi, majalah memiliki keterbatasan media. Buku dapat membahas permasalahan dari awal sampai akhir. Kita tinggal menilai secara sistematis. Majalah membahas per edisi pengenalan kamera, berikutnya foto outdoor.Jika harus memilih, saya pilih buku.

Apakah ada korelasi antara kurangnya minat mendalami fotografi dengan matinya media fotografi?

Berdasarkan pengalaman, ada segelintir orang yang mempelajari fotografi karena keharusan untuk makan. Jadi, hanya bisa motret dan dari hasil itu mendapatkan uang. Tapi, ada orang yang ingin mempelajari lebih dalam sampai dikatakan fotografer professional sehingga ilmu fotografi digali lebih dalam. Ada yang ketika belajar fotografi dasar merasa tidak tertarik dan memilih membuka lab cuci-cetak. Ada yang memilih menjadi dosen. Dunia fotografi itu cakupannya luas sehingga pilihan orang terhadap aplikasi ilmunya itu berbeda-beda.

Jika fotografer terspesialisasi, apakah media fotografi juga akan terspesialisasi?

Bahkan ada sub-subnya. Misalnya kebutuhan akan fotografer fashion. Kebutuhan akan menjadi fotografer fashion yang cirri khasnya ekstrem, pictorial, kontemporal atau eksperimental. Suatu saat pasti akan ada kebutuhan seperti itu, tapi masih lama. Apalagi di Indonesia baru ada fotografer spesialiswedding atau portrait.

Apakah situs fotografi mempengaruhi penjualan media fotografi?

Pasti sedikit-banyak berpengaruh. Tapi, media fotografi dalam bentuk cetak sangat diperlukan. Berdasarkan pengalaman, fotografer atau pelaku bisnis perlu informasi tentang produk baru, bisnis yang lagi in, atau tentang teknis. Karena saya bergabung denan beberapa komunitas fotografi, saya tahu bahwa teman-teman fotografer lebih mudah mengakses informasi dengan membaca daripadabrowsing.

Apa penyebab kematian media fotografi secara keseluruhan?

Saya melihat, pertama pasar harus dicreate. Tidak ada yang memelihara komunitas. Setelah Fotomedia tidak ada muncul situs-situs internet seperti Fotografer. Net. Hal ini membuktikan bahwa mereka perlu komunitas. Media fotografi seperti Fotomedia, Fotoklik, dan lain-lain tidak menjaga komunitas pembaca. Kedua, untuk masalah modal tergantung pelaku bisnis. Tapi, yang penting rasa loyalitas muncul dari komunitas pembaca. Apabila dijaga dan dipelihara mereka aka loyal untuk terus membeli.

Segmen pembaca mana yang Anda nilai komersial?

Kesulitannya di Bandung belum merata. Di Jakarta mulai merata antara fotografer komersial, wedding, dan potrait. Saya melihat Bandung banyak yang bergelut di bidang wedding, banyak yang cenderung ke arah sana. Pada saat ingin berkerativitas mereka butuh wadah atau media yang menambah kemampuan mereka. Tidak perlu takut karena konsumen, pasti banyak yang membeli.

Harapan Anda terhadap media fotografi?

Pertama, fotografer senang jika karyanya medapat publisitas. Jika ada satu media bisa berisi tentang kara-karya fotografer. Tidak usah membahas teknis terus, tapi apa yang disampaikan oleh foto. Bisa juga tentang info produk. Timbul kebosanan karena pembahasan selalu fotografi dasar.

Akhir Tragis Media Fotografi

Sebuah kisah bahagia muncul ketika media fotografi tampak menjamur. Semua berpikir media fotografi adalah pangsa pasar yang komersial. Kemudian, media-media itu disadarkan oleh kejatuhan oplahnya. Euphoria itu langsung berhenti. Media fotografi terseret oleh defisit anggaran yang membebani mereka. Ada yang bertahan, tapi banyak yang tumbang.

Kematian media fotografi saling menyusul. Menyisakan luka yang mendalam bagi yang mengenalnya. Begitu banyak yang berduka, tapi tidak mampu mengubah kenyataan. Media fotografi dinilai sebagai media yang tidak mendatangkan profit. Berbagai cara sudah ditempuh oleh media fotografi untuk menaikkan pamornya. Penulis artikel dipilih orang-orang yag senior di bidang fotografi, mengikuti tren fotografi, dan banyak lagi cara.

Jumlah pemilik kamera di Indonesia yang cukup besar, mencapai jutaan. Sayangnya dari angka itu yang ingin mendalami ilmu fotografi tidak sampai 5%. Berbagai langkah telah ditempuh, tapi tidak membawa langit cerah pada media fotografi. Apakah kesalahan media fotografi?

Handoyo, mantan pemilik media fotografi, Fotoklik, mengungkapkan alasan penutupan media itu. Fotoklik beredar tahun Januari 2001. Terbit sebanyak 3000-5000 eksemplar. Pria lulusan Seni Rupa ITB ini pada awalnya mencita-citakan untuk berbagi ilmu kepada masyarakat tentang luasnya fotografi dan kemiskinan Indonesia akan ilmunya. “Tapi, tidak ada yang mau mengurus. Jadi, berhenti sekarang,”keluh Handoyo.Awalnya, Handoyo merintis usaha ini karena kecintaannya pada dunia fotografi. Bahkan, pria pemilik Prestige Foto Studio ini berusaha keras mempertahankan Fotoklik di tengah kerugian yang dideritanya.

Bahan untuk isi Fotoklik disadur dari internet dan menerjemahkan media luar negri. Tapi, untuk melakukan penerjemahan harus memiliki dasar fotografi yang kuat karena banyaknya istilah fotografi. Handoyo pernah mempekerjakan lulusan Sastra Inggris Universitas Maranatha. Hasilnya sangat mengecewakan. Bahasa yang digunakan sangat kaku sehingga tidak enak dibaca.  Fotoklik menangani semua segmen fotografi, baik yang professional, maupun pemula. Dengan berbekal tiga orang pengurus, Fotoklik hanya mampu bertahan tujuh edisi.

Proses pembuatannya sangat menguras waktu. “Sampai tidak tidur,”keluh Handoyo. Kemampuan utnuk menulis ulang nyatanya tidak mudah. Menerjemahkan artikel-artikel berbahasa Inggris membutuhkan proses yang lama. Mulai dari penerjemahan, editing, print ulang, bikin film, koreksi lagi,approve cetak, koreksi, baru dicetak. Tapi, tetap saja banyak yang terlewat seperti penulisan merk. Handoyo pernah mengalami peristiwa tidak menyenangkan karena review yang ditulisnya tentang kamera Samsung yang kurang baik. Perusahaan Samsung mengamcam menuntutnya karena tulisan Handoyo itu. Setelah dibujuk dengan iklan gratis satu halaman penuh dan berwarna, Samsung tidak berkutik. Tapi, lagi-lagi Handoyo merugi.

Biaya produksi untuk satu majalah mencapai Rp 10.500,00. Kemudian, dijual   Rp 15.000,00. Keuntungan yang didapat dari penjualan satu majalah hanya Rp 4.500,00. Namun, harus mendapat potongan 20% sehingga hanya menyisakan keuntungan            Rp 500,00. Sungguh tragis untuk nasib sebuah majalah hobi eksklusif. “Akhirnya, ini proyek rugi. TekorRp 80 juta,”ujar Handoyo.

Kesulitan yang paling besar dirasakan Handoyo ketika mencari SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkompeten di dunia fotografi. Sedihnya, tidak ada yang bersedia. Pertama, karena banyak menguras waktu. Kedua, kurangnya dedikasi yang tinggi pada dunia fotografi. Banyak orang yang takut karyanya dijiplak jika membagi ilmunya dalam media fotografi. “Ilmu fotografi itu tidak akan bisa dijiplak sebetulnya,”tegas Handoyo.

Handoyo mengeluhkan waktunya yang tersita karena pekerjaannya yang lain, seperti pemilik studio foto, arsitek, dan desain interior. Kadang, Handoyo harus bersedia merelakan Fotoklikyang seharusnya terbit satu bulan sekali molor hingga dua bulan. Sedangkan, media sangat memerlukan kontinuitas. Akibatnya pembaca menjadi malas sehingga penjualan menurun.

Kendala lain yang muncul ketika Handoyo harus mendistribusikannya. Dalam mendistribusikan media harus melakukan survei tempat yang akan memakan biaya besar. Padahal survei sangat bermanfaat untuk mengetahui tempat yang potensial untuk memasarkan media. Akhirnya, hanya bisa mendistribusikan ke Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Semarang, dan Surabaya. Sedangkan, kota-kota kecil merupakan potensial market. Seharusnya untuk pemasaran memerlukan sales. Tapi, dengan untung Rp 500,00 tidak mungkin untuk menggaji orang lagi.

Iklan juga menjadi masalah besar. Banyak pemasang iklan yang enggan masuk karena mahalnya harga pemasangan iklan. Tarif untuk satu halaman iklan mencapai Rp 7,5 juta. Para pemasang iklan mundur karena mereka lebih memilih memasang iklan di media dengan jangkauan nasional seperti Kompas.Handoyo membatasi iklan yang masuk harus berkaitan dengan fotografi.

Majalah fotografi di luar negri sukses karena mereka mampu menekan biaya produksi dengan jumlah pemasang iklan yang banyak. Pemasang iklan di Indonesia kurang menghargai majalah fotografi. Misalnya, Nikon¾produsen kamera¾ lebih memilih iklan di koran daripada media fotografi.

Banyak orang Indonesia kurang pengetahuannya di bidang fotografi. Mengapa? Karena miskinnya majalah fotografi dan perkembangan ilmu fotografi sangat miskin. Mungkin karena fotografi masih barang mewah di Indonesia. Karena negara kita berbentuk segitiga dan yang terbanyak kalangan bawah. Akibatnya fotografi tidak bisa dinikmati semua orang. Akhirnya, satu media fotografi gugur.

Mendekati Pasar dengan Wedding

Media fotografi yang spesialis sangat sedikit jumlahnya. Salah satunga adalah majalah Seasonsyang konsentrasinya di bidang wedding. Hasilnya ternyata tidak mengecewakan. Banyak sponsor yang berdatangan pada media gratis ini. Hadi Lesmana, pemilik majalah Seasons,merasa perlu mendekati pasar dengan hal yang berhubungan langsung dengan mereka. Sehingga pembaca tidak terbatas pada fotografer wedding saja, tapi juga para pengusaha dan orang yang hendak menikah.

Iklan yang masuk dapat dari berbagai aspek, seperti tata rias, gaun,event organizer, katering, dan fotografer. Pengusaha di bidang weddingternyata sangat menjamur di Bandung. Tapi, belum ada media di Bandung yang memfasilitasi mereka untuk berpromosi. Oleh karena itu, Hadi dan teman-temannya memutuskan membuka majalah yang bergerak di bidang wedding. Untuk isi, Hadi lebih memilih dengan sistem kerjasama  yang menguntungkan kedua pihak.

Spesialisasi merupakan hal yang sering dilupakan media fotografi. “Segmentasi mereka tidak kena sehingga masyarakat kurang aware,” kata Hadi. Media fotografi banyak bermunculan dalam wajah yang nyaris sama, mengupas fotografi dasar. Akibatnya, media tidak punya  ciri khas.

Perkembangan media fotografi  seharusnya menampilkan angle yang berbeda sehingga masyarakat tidak bosan. Hampir semua memilih fotgrafi dasar sehingga tidak menghasilkan sesuatu yang baru.

Dalam menjaga komunitas, Seasons akan memilih segmen pasar dengan meletakkan medianya secara terbatas terutama untuk kalangan menengah ke atas. “Sehingga kita dapat menghajar pasar secar jelas,”ungkap Hadi.

Media fotografi seharusnya sudah mulai berpikir segmented. Jangan ingin menjawab semua kebutuhan sampai tidak ada satu pun yang terpuaskan. Spesialisasi yang dipilih juga harus melihat target market yang ada. Pasar potensial harus segera dibidik sebelum ada yang mengambil duluan. Ingin menjadi perintis atau follower?

Media Fotografi Lemah Menangkap Pasar

”Kasihan, ”ujar Dudi Sugandi, redaktur foto Pikiran Rakyat (PR),menyayangkan banyaknya media fotografi yang berguguran. Kesalahan terbesar media fotografi pada kelemahan menangkap pasar. PR dulu pernah memberikan sisipan koran tentang fotografi yang bernama Klik. Tanggapan masyarakat sangat positif. Sayangnya, karena krisis moneter PR menguruskan halamannya hingga Klik harus tamat.

Klik lebih berisi tentang wawasan daripada teknis. Sedangkan, media fotografi banyak bergerak di teknis sehingga orang yang sudah memiliki keahlian fotografi malas untuk membeli. Pengelola media harusnya menyediakan orang yang suka menulis dan tertarik di dunia fotografi. “Jika dilandasi rasa suka, sebetulnya tidak masalah,”ungkap Dudi. Pekerjaan sebagai wartawan juga memiliki tingkat stress yang tinggi karena deadline. Tapi, karena mereka suka maka tidak terasa sebagai beban.

Bekal yang diperlukan dalam membuat media fotografi terutama dalam masalah SDM. Dunia fotografi baru dirasakan perlu ketika akan mendokumentasikan perjalanan. Tapi, orang lupa ketika presentasi mereka perlu fotografi, orang asuransi butuh untuk data, penjual properti, dan lainnya.

Perkembangan teknologi membuat dunia fotografi meningkat. Saat fotografi sudah memasyarakat, media fotografi sudah tidak ada. Media fotografi di sini bisa bertindak untuk mengenalkan dunia fotografi yang bersentuhan langsung dengan pasar. Misalnya, penerangan teknologi tentang kamera handphone yang sedang marak sekarang.

“Syaratnya, bisa membaca pasar sekarang, pasar dunia fotografi ke depannya, dan contentfotografi,”kata Dudi tentang syarat yang diperlukan media fotografi. Majalah otomotif yang juga bergerak di bidang hobi bisa lebih sukses karena pembahasannya menyentuh kehidupan sehari-hari. Sedangkan, kebutuhan akan fotografi baru terasa pada momen khusus. Tapi, sekarang fotografi sudah menyentuh kehidupan sehari-hari dengan kemunculanhandphonekamera. Media fotografi harusnya menangkap pasar yang dekat di hati masyarakat, bukan secara eksklusif.

Media fotografi bisa bergerak di bidang yang dekat dengan kehidupan, terutama fotografi digital. Banyak orang yang hanya tahu memakai, tapi tidak tahu fungsi kamera. Media fotografi harus dapat mengenalkan fungsi-fungsi itu. Misalnya, seseorang tahu jika dengan diafragma 5,6 hasil foto dalam kondisi yang sama akan bagus. Tapi, ia tidak mengerti mengapa diafragmanya harus 5,6.

Orang dulu berpikir untuk suka dunia fotografi karena hobi yang mahal. Misalnya, biaya kamera, film, cuci-cetak, dan lainnya. Jika suka pun mereka terus berpikir untuk balik-modalnya nanti. Akhirnya, fotografi kurang diminati karena dinilai terlalu eksklusif. Profesi fotografer juga belum dapat menjadi penghidupan. Misalnya, di PAF (Perhimpunan Amtir Foto) banyak yang suka fotografi. Tapi, menjadikan fotografi sebagai bagian dari hidup, bukan profesi.

Media fotografi kurang mampu membaca pasar dengan terus-menerus menampilkan fotografi dasar. Orang cenderung bosan karena hampir semua membahas hal yang sama. “Harus ada yang dimunculkan secara kreatif,”kata Dudi. Seharusnya

fotografi menangkap hal yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Misalnya, untuk kamera handphone dengan kemampuan megapixel yang ada mampu hingga perbesaran 4R.

Kemunculan situs fotografi dinilai Dudi sangat berpengaruh. “Sekarang orang bisa lebih belajar sendiri,”ungkapnya. Dulu, jika ingin otodidak harus banyak bertanya, membeli buku fotografi yang mahal, dan mengikuti seminar fotografi. Sekarang, ilmu fotografi lebih mudah diakses dari internet.

Media fotografi diperlukan untuk menambah pengetahuan. Fotografi dasar lebih cepat diserap dengan digital karena langsung dapat menilai hasilnya.  Lewat foto-fotonya di Pikiran Rakyat, Dudi mengharap masyarakat lebih tertarik dengan dunia fotografi. Misalnya, PR Minggu banyak memuat karya foto dengan teknis tertentu.”Orang akan terbiasa melihat foto-foto yang aneh,”kata Dudi. Suarat kabar memberikan pembelajaran pada masyarakat.

Perkembangan digital mengembangkan fotografi sehingga memasyarakat. Sudah saatnya, media fotografi mulai bangkit dari ketakutan akan kegagalan masa lalu. Masyarakat kini sudah mulai bergerak maju. Tinggal tunggu saja kapan media fotografi akan maju.

*Tulisan ini dimuat oleh APC Institute dengan menyadur tulisan yang dibuat oleh Karlina pada tanggal 15 november 2006 dari sumber http://journalin.multiply.com/journal/item/15/Media_Fotografi_Quo_Vadis

May 30, 2011

Menelanjangi Isu Plagiat Yang Sebenarnya : mengupas plagiat dalam fotografi dari tema, gagasan & bentuk.

Oleh Deni Sugandi

Isu plagiat, yang selalu berkonotasi seram ini, selalu mampir dalam berbagai wacana seni. Dalam wahana fotografi, kegiatan meniru dan menjiplak tersebut, hingga kini masih dalam batas abu-abu. Sampai sekarangpun, belum pernah ada kajian khusus apa itu plagiat atau bukan. Saya sendiri mencoba menyelami persoalan ini, menggali kembali peristiwa seperti ini yang pernah diungkap di media masa, dengan konteks untuk kebutuhan kompetisi fotografi.

Kembali pada tahun 1997, pada saat penyelenggaraan Salon Foto Indonesia (Foto Media, April 1998) pihak panitia dan juri menerima karya yang disebut plagiat. Tiga karya Okky Adiwijaya dinyatakan menjiplak, meniru kemudian menerbitkan dalam kontes fotografi nasional, SFI tahun 1997. Diantaranya karyanya dengan judul “Lover” peraih medali perak pada SFI ke-18 tahun 1997, yang ternyata sangat persis dengan karya foto Daniel J. Cox, dari sebuah artikel “How Pros Photograph Animals” pada majalah Popular Photography edisi Agustus 1996.

Begitu pula terulang, pada tahun 2000 lalu, karya Dedy H. Siswandi juara pertama untuk kategori Momokrom, dengan judul “Swimmer” pada SFI ke-21, disinyalir benar-benar meniru karya fotografer Choo Chee Yoong yang pernah diterbitkan dimajalah Photo Asia edisi Januari 1996.

Pada International Photo Contest, yang diselenggarakan oleh BINUS, tahun 2009, kembali tuduhan plagiat tersebut muncul. Kebebasan bersuara melalui jejaring sosial, Ricky N. Sastramiharja menyatakan dengan keras, bahwa karya Sutanta Aditya Lubis, sebagai pemenang lomba BINUS 2009 untuk kategori umum, adalah mirip dengan karya James Nachtwey, dengan judul “ Chechnya, 1996 – Ruins of central Grozny”

Sekali lagi, belum pernah ada kajian khusus. Baik itu dari fotografer senior pendahulu kita, seperti Alm. Kartono Ryadi, Santoso Alimin, Edwin Raharjo, Ir. Goenadi Haryanto, Stanley Bratawira, Paul I. Zacharia, Tubagus P. Svarajati, Budi Darmawan, Alm. K.C. Limarga, Solichin Margo, Aslam Subandi, Oscar Motuloh, jim Supangkat (baca Foto Media 1998 & 2000) tidak pernah menyatakan analisis khusus apa itu plagiat. Semua yang tertulis dalam artikel Foto Media tersebut hanya opini tanpa ada usaha untuk menjelaskan lebih dalam lagi persoalan ini. Sungguh sangat disesalkan, pekerjaan rumah ini belum pernah tuntas hingga kini, semenjak fotografi hadir pertama kali, menginjak tanah Batavia sejak tahun 1840.

Mengupas apa itu plagiat dan bukan tentunya memerlukan parameter tertentu, sehingga akan mudah untuk berpijak. Sistem menyamakan pemahaman terlebih dahulu adalah cara yang paling adil, dalam menilai apakah ini termasuk atau tidak. Arti plagiat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online) http://pusatbahasa.diknas.go.id/, yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI mempunyai arti demikian:

pla•gi•at n pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri, msl menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan.

Dalam konteks visual fotografi bisa berarti meniru gagasan karya orang lain, kemudian menyatakan bahwa gagasan tersebut menjadi miliknya. Ini baru tahap gagasan saja, belum dilihat dari bentuk. Gagasan tersebut bisa saja ditiru karena faktor kognitif, sensasi-persepsi, memori dan imajinasi dalam melihat dan mencerap foto-foto yang pernah dilihat sebelumnya, kemudian dihadirkan kembali dalam bentuk gaya yang berbeda.

Bagaimana plagiat itu dikupas?
Perlu dipahami terlebih dahulu batasnya. Kita yakini terlebih dahulu bahwa dalam proses penciptaan karya tidak ada gagasan original. Sebaliknya, meniru nyaris sama itu pasti sangat memungkinkan. Jadi plagiat atau bukan akan mudah sekali dikupas. Cara apresiasi awal suatu karya foto ialah dengan mendeskripsikan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu obyek foto (subject matter) meliputi di dalamnya adalah menyebutkan karater obyek-obyek yang muncul didalam foto tersebut; orang, benda, tempat atau kejadian/peristiwa yang terjadi.

Visual elemen atau unsur-unsur yang menyusun, mengatur dan membangun foto sebagai berikut: titik, garis, bidang, bentuk, cahaya, warna, tekstur, massa, ruang dan volume disebut bentuk dan teknis (form). Deskripsi tersebut dapat dilihat dari rentang nada (shades of gray/tonal) hitam ke putih, kontras obyek, kontras jenis film/negatif (noise untuk digital) kontras kertas, format film, sudut pandang, jarak obyek, lensa yang digunakan, pembingkaian, ruang tajam, tingkat ketajaman fokus dan sebagainya.

Media. Material pembangun karya foto tersebut. Misalnya cetakan momochrome dengan menggunakan media kertas cetak tertentu, dengan proses lanjutan (paska-produksi menggunakan teknik digital imaging). Deskripsi media pun meliputi seluruh aspek yang turut membangun terciptanya ekspresi seniman pada karyanya, serta dampak yang timbul pada pelihatnya.

Terakhir adalah melihat dari gaya/style. Adalah menyangkut kondisi sosial-politik-ekonomi dan semangat jaman saat itu (zeitgeist) termasuk didalamnya gerakan seni, periode waktu serta faktor geografis, yang memperngaruhi proses penciptaan karya. Ciri seperti ini bisa dikenali dari obyek foto, teknis pemotretan dan media foto.

Mengupas tuduhan palgiat Sutanta Aditya Lubis versus James Nachtwey
Dua anak, dengan menggunakan lensa lebar, memenggal separuh kepala anak tersebut. Point of interest gambar ini bukan anak tersebut, tetapi informasi yang terkandungnnya, lingkungan dalam gambar ini menjelaskan, sama-sama sebuah produk perang; James Nachtwey menjelaskan kehancuran sebuah kota di Central Grozn di Checnya tahun 1996 (Dengan judul Ruins of Central Grozn), sedangkan karya Sutanta Aditya Lubis memaparkan “perang” himpitan ekonomi di pinggiran kota. Bila disandingkan, dua foto tersebut memang terlihat sama, baik itu pemilihan sudut pengambilan-dari atas, perspektif yang dihasilkan dari efek lensa lebar atau menghadirkan kepala anak separuh, sehingga si pemotret bisa leluasa mengeksplorasi latar pendukung yang mewakili kekuatan anak tersebut. Ide dan gagasan sama, namun maknanya bisa berbeda.

Tema dan pesan kedua foto tersebut sama, sama-sama berusaha menampilkan sisi realitas manusia yang buram. Sisi buram ini yang saya lihat tidak lagi menampilkan manusia sebagai tokoh sentral atau sebagai subyek, melainkan sebagai obyek dari sistem sosial, budaya, politik dan sistem ekonomi tertentu. Jelas keduanya menggunakan narasi visual negatif.

Bila dianalisa dari alur dan bentuk, kedua foto tersebut nyaris memiliki pola yang sama, pengambilan sudut lebar, dengan demikian dapat mengambil informasi lingkungan yang lebih banyak. Dengan penggunaan lensa lebar, perspektif menuju pada titik yang sama. Bisa diperhatikan garis maya pada karya foto Sutanta, jalur kereta api, menuju titik perspektif yang sama dengan karya Nachwey, deskripsi rentang nada/tonal menggunakan pemilihan paska-produksi hiram dan putih, intensitas cahaya pada saat pengambilan, low kontras dan aspek teknik burning-dodging.

Dalam menterjemahkan gaya, baik Sutanta dan Nachwey, sama-sama menggunakan metode EDFAT, metode yang diperkenalkan Walter Cronkite School of Journalism and Telecomunication, Arizona State University. Sebagai metode EDFAT mungkin tepat digunakan sebagai pembingbing dalam setiap penugasan ataupun mengembangkan suatu konsep fotogafi pribadi (Motuloh, Oscar, 1999, hal 6). EDFAT adalah suatu metode pemotretan untuk melatih optis melihat sesuatu dengan detail yang tajam. Tahapan-tahapannya yang dilakukan pada setiap unsur dari metode ini adalah suatu proses dalam mengincar suatu bentuk visual atas peristiwa bernilai (Prasetya, Andhika, 2003, hal 26).

Huruf E, berarti “Entire” dikenal sebagai established shoot, ruang luas wilayah pengamatan, “Detail” adalah suatu pilihan atas bagian terntentu dari keseluruhan padangan terdahulu (Entire). Tahap ini adalah saat penentuan Point of Interest. Sutanta mengambil mata anak yang tertutup perban, karena menderita penyakit mata, bermaksud mengantarkan menuju lingkungannya (latar). “Frame” adalah proses membingkai detail yang telah terpilih. Cara pengaturan komposisi, pola, tekstur dan bentuk subyek pemotretan antara dua karya tersebut sama. “Angle” atau sudut pengambilan, sama-sama dilakukan dari atas, top angle, karena kedua fotografer sama-sama tinggi dibandingkan si anak tersebut. Tahapan terakhir dari EDFAT, adalah “Time” tahap penentuan kehadiran anak tersebut (saya berkesimpulan tidak ada upaya pengaturan subyek) pada seting waktu yang sama, sama-sama menggunakan kecepatan tinggi, membekukan gerakan. Hanya pemilihan ruang tajam saja yang berbeda.

Palgiat itu?
Karya Sutanta dan Nachtwey, baik itu dari bentuk, gagasan dan tema, jelas karya ini bila disandikan ada kesetaraan. Persamaan karya ini, ternyata mudah sekali terjadi. Kalau memang Sutanta menyadari karya ini ada kesamaan dengan karya fotografi sebelumnya, yang pernah dikenal publik (dipublikasikan) dan kemudian dihadirkan diruang publik, misalnya dalam lomba foto, tentu saja karya ini harus dipertanggung jawabkan pada publik pula dan Sutanta harus siap menjawab. Hal demikian lumrah terjadi pada dunia jurnalistik, lihat saja karya essay foto Rama Surya “Yang kuat yang kalah” bila dibandingkan dengan karya Sebastian Salgado dalam essainya “An Uncertain Grace” sebagian besar sama dan sebangun (congruent), yang sangat dipengaruhi gaya pemotretan fotografer-fotografer pendahulunya: Henri Cartier Bresson dan Eugen Smith. Sutanta Aditya Lubis terinspirasi karya-karya James Nachtwey adalah sah-sah saja. Tetapi bilamana karya tersebut turut membuka wawasan publik dan kemudian publik tergerak membawa perubahani, karya foto tersebut sudah tidak penting lagi, juga tidak penting lagi berbicara apakah itu plagiat atau bukan. (denisugandi@gmail.com)

Referensi foto:
http://6ix2o9ine.blogspot.com/2010/05/plagiat.html

*Tulisan ini dimuat oleh APC Institute dengan seizin penulisnya yaitu Deni Sugandi.

May 30, 2011

Merekam berbagai citra hidup dalam satu jiwa (Tulisan singkat tentang Photo Story)

Oleh Galih Sedayu

Di dalam dunia fotografi kita telah banyak mengenal istilah karya Single Photo (foto tunggal). Pada umumnya telah banyak para pemotret yang menghasilkan karya Single Photo tersebut misalnya saja foto seorang bocah kecil, sebuah bangunan tua ataupun sekilas pemandangan pagi. Ada istilah lain tentang karya foto dalam dunia fotografi yang berbeda dengan karya foto tunggal yaitu Photo Story. Ada juga yang menyebutnya dengan istilahPicture Story atau Photo Essay. Apa itu sebenarnya Photo Story?

Photo Story atau Foto Cerita adalah kumpulan karya foto yang dibuat dengan tujuan untuk menyampaikan sebuah cerita dari suatu tempat, peristiwa ataupun sebuah isu yang ada. Dimana foto-foto tersebut merepresentasikan karakter serta menyuguhkan emosi bagi yang melihatnya, berdasarkan sebuah konsep yang menggabungkan antara seni dan jurnalisme. Semua karya Photo Story merupakan kumpulan karya foto, tetapi tidak semua kumpulan karya foto merupakan karya Photo Story.

Ada dua Jenis Photo Story. Yang pertama adalah Foto Naratif yaitu kumpulan karya foto berdasarkan urutan dari sebuah kejadian atau peristiwa. Misalnya foto-foto tentang seorang ibu penjual jamu dimana si pemotret mengikuti dan merekam segala aktivitas ibu penjual jamu tersebut dari mulai mempersiapkan dagangan jamunya di rumah, berangkat keluar rumah untuk menjajakan jamunya hingga pulang kembali ke rumah. Jenis Photo Story yang kedua adalah Foto Tematik yaitu kumpulan karya foto yang memfokuskan pada sebuah tema sentral dimana foto-foto yang diambil tidak melulu mentitik-fokuskan pada sebuah tempat ataupun peristiwa tertentu. Tetapi foto-foto tersebut relevan dengan tema yang diambil misalnya isu pendidikan yang rendah, pengentasan kemiskinan, polusi pabrik dan lain sebagainya.

Adapun langkah- langkah yang dilakukan untuk membuat sebuah Photo Story yaitu:

  1. Tentukan sebuah topik atau tema
  2. Lakukan penelitian kecil
  3. Membuat sebuah cerita yang nyata
  4. Mencari emosi & karakter
  5. Eksekusi foto

Eksekusi Photo Story yang baik yaitu foto-foto yang   bercerita dimana foto-foto tersebut dapat berdiri sendiri, foto-foto dengan berbagai penyajian (sudut lebar, potret, detail), foto-foto yang memiliki urutan foto yang baik (menarik, logis & efektif bercerita), foto-foto yang memiliki Informasi & Emosi (mampu menyampaikan sebuah pesan yang baik) dan foto-foto yang menyertakan caption atau keterangan tentang foto.

Dalam proses pemilihan & penyusunan urutan Photo Story ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:

  1. The Lead Photo, yaitu Foto yang paling menonjol dari seluruh rangkaian foto.
  2. The Scene, yaitu Foto yang menggambarkan suasana atau tempat dari tema sentral.
  3. The Portraits, yaitu Foto potret yang dramatik & menggugah emosi.
  4. The Details Photo, yaitu Foto yang terfokus pada detail sebuah obyek misalnya bangunan, wajah ataupun benda.
  5. The Semiotic Photo, yaitu Foto sederhana yang memiliki nilai simbolis dan makna tertentu dari sebuah cerita
  6. The Signature Photo, yaitu Foto yang menangkap sebuah kesimpulan dari sebuah cerita.
  7. The Clincher Photo, yaitu Foto yang menentukan akhir dari sebuah cerita berupa harapan, kebahagiaan atau sesuatu yang membangkitkan inspirasi.

Ketika kita membuat Photo Story ada beberapa hal lain yang dapat mempengaruhi hasil karya diantaranya adalah penguasaan teknis pemotretan, wawasan & kreativitas pemotret, kejelian pemotret dalam merekam obyek foto, dan totalitas pemotret. Sehingga ketika kita memiliki semua hal itu, niscaya foto-foto yang telah kita hasilkan akan mengeluarkan sebuah citra yang utuh dari peristiswa atau isu yang kita pilih.

Akhir kata semoga segala citraan yang dihadirkan kembali oleh mata fotografi kita dapat menjadi adegan-adegan beku bersejarah yang terus dikenang dan terus dibagikan bagi kelangsungan peradaban cahaya juga bagi kelangsungan hidup manusia sampai akhir hayatnya.

A PHOTO STORY BY DILIP VISHWAMITRA BHATIA
“Happy Home and School for the Blind”

(c) Dilip Vishwamitra Bhatia

May 30, 2011

Menunggu Pemberontakan Fotografi

Oleh Ricky N.Sastramihardja

Potrét manéhna. Nu katampa minggu kamari.
Dipiguraan.Disimpen dihadé-hadé.
Anteng diteuteup.Jadi batur dina simpé
Aduh éndahna

Potret Si Dia. Diterima minggu lalu.
Diberi figura, disimpan dengan baik.
Terpaku menatapnya. Menjadi teman dalam sepi.
Oh indahnya…

Lagu Potret Manéhna , Ciptaan Adang Céngos & dipopulerkan Nining Méida.

Teknologi fotografi dewasa ini mencapai puncak evolusinya dengan berkembangnya teknologi fotografi digital. Bila 10 tahun lalu foto tercepat adalah foto yang diproduksi dengan kamera Polaroid, sekarang ini ini foto tersaji cepat melalui ponsel berkamera (atau kamera berponsel). Tinggal klik dan langsung jadi, tidak harus dicuci cetak terlebih dulu. 10 tahun lalu fotografi analog adalah klangenan dan permainan orang dewasa, kini fotografi digital menjadi bagian dari permainan anak-anak, bahkan yang belum bisa membaca sekalipun. Teknologi fotografi dewasa ini memang sebuah pemberontakan yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh Joseph Niépce, Daguerre, atau bahkan Ibnu Al Haitam/Alhazen yang mewarisi dunia dasar-dasar ilmu optik 1).

Fotografi tadinya hanya milik orang dengan kasta dan penghasilan tertentu, kini menjadi sesuatu yang biasa, murah, dan mudah. Biasa, karena bahkan hanya dengan sebuah ponsel berkamera setiap orang bisa memotret apa saja yang ia inginkan. Murah, karena tidak ada lagi pengeluaran untuk membeli rol film serta biaya cuci cetak, selain membeli perangkat kamera. Mudah, karena tanpa harus belajar banyak teori teknis fotografi seseorang bisa memotret. Kapan saja, di mana saja, siapa saja. Sepertinya mengulang impian George Eastman yang melahirkan Kodak Brownie pada tahun 1900 yang menginginkan fotografi yang mudah dan murah 2).

Pada perkembangannya, fotografi sebagai alat, adalah gabungan ilmu tentang mekanika, elektronika, komputer dan informatika, piranti lunak, juga optik. Sebagai sebuah hasil atau konten, fotografi berada di banyak wilayah: dokumentasi, jurnalistik, seni, hingga ilmu kedokteran. Ilmu Fotografi kemudian menemukan jatidirinya bersamaan dengan ilmu-ilmu lain. Bahkan di dunia antropologi, fotografi menjadi salah satu hal yang harus dikuasai para antropolog sebagai metode penelitian 3). Dunia kedokteran pun sangat akrab dengan dunia fotografi, misalnya dengan penggunaan mesin rontgen untuk memotret bagian dalam tubuh manusia. Para peneliti ekologi pun menggunakan perangkat jebakan kamera (camera trap) untuk memastikan keberadaan satwa liar yang hampir punah. Ilmu sejarah yang tergantung pada ilmu-ilmu lain, menggunakan foto sebagai salahsatu cara untuk menafsirkan sejarah masa lalu. Baru-baru ini terbit sebuah buku biografi Sutan Sjahrir yang ditulis oleh wartawan senior Indonesia. Bersama Ignas Kleden, Rosihan Anwar mengurai biografi tokoh pergerakan Indonesia yang tercantum dalam 100 foto yang berhubungan secara kontekstual dengan tokoh dan ketokohan Sutan Sjahrir 4).

Para petinggi militer pun menggunakan fotografi untuk kegiatan intelejen dan mencitrakan wilayah-wilayah tertentu yang dicurigai berkaitan dengan aktivitas musuh. Saya teringat pada film The Great Raid yang diputar sebuah televisi swasta beberapa waktu lalu. Film ini berkisah bagaimana pihak Sekutu pada perang Dunia II mengirimkan satu pasukan penyelamat untuk menyelamatkan tentara Amerika yang menjadi tahanan perang (POW) di Filipina. Keberhasilan pasukan tersebut tidak lepas dari data intelijen yang menyertakan sebuah foto udara (aerial) yang menunjukan lokasi dan posisi penjara militer Jepang yang jadi target penyerbuan.

Seorang Roland Barthes menggunakan medium fotografi sebagai sarana untuk mengembangkan teorinya tentang strukturalisme. Perlu diketahui, sebelum menulis Camera Lucida: Reflection on Photography pada tahun 1980 dengan premis ‘studium’ dan ‘punctum’ untuk menjelaskan ‘the impossible text’ 5) dalam sebuah karya foto, Barthes adalah peneliti dan penulis di bidang Kesusastraan serta Cultural Studies yang sangat berminat dalam pengkajian sinema dan fotografi. Sebelum Camera Lucida, Barthes pernah menuliskan pandangannya mengenai dunia fotografi dan pencitraan dalam ‘Image-Music-Text yang terbit tahun 1977. Nama Barthes dapat disejajarkan sebagai salah satu punggawa Strukturalisme yang bersumber pada Strukturalisme yang dihujahkan oleh Ferdinand de Saussure juga C.S. Pierce dalam ilmu bahasa (linguistik).

***

Pada perkembangan fotografi di tanah air, perkembangan fotografi sebagai ilmu inter-disiplin sepertinya masih belum segempita dengan fotografi sebagai karya dokumentasi atau ekspresi estetika. Masih sangat jarang ditemukan literatur yang membahas fotografi sebagai ilmu inter-disiplin yang tidak hanya melulu berbicara tentang teknis fotografi. Sekolah-sekolah tinggi dan universitas yang mengajarkan fotografi sebagai ilmu pun masih berkutat pada fotografi praktis, yakni cara dan teori memotret yang baik dan benar.

Dengan kata lain, institusi pendidikan masih berorientasi untuk menghasilkan fotografer yang ‘juara’ dalam hal teknis dan teori tentang memotret. Tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan luar sekolah atau tempat kursus fotografi yang secara praktis memang bertujuan mencetak seorang fotografer. Saya rasa ini sangat berkaitan dengan kenyataan bahwa fotografi Indonesia sangat berkaitan dengan industri pencitraan dan komodifikasi identitas yang secara ekonomi menguntungkan banyak pihak.

Bisa dilihat misalnya dunia internet adalah tempat bertukar foto paling mutakhir bagi para penggunanya. Dalam sebuah jejaring sosial yang memberikan kemudahan dalam berbagi foto, setiap saat menawarkan berbagai foto yang dibuat oleh para penggunanya. Para pengguna situs yang memang berprofesi sebagai fotografer, mengunggah karya foto-fotonya — yang sebenarnya dapat dikatakan nyaris seragam– mulai dari foto bergaya jurnalistik, fashion, glamour, landscape, bahkan sekedar foto dokumentasi kongkow dengan sesamanya. Para pengguna situs yang bukan fotografer pun tidak mau kalah dengan mengunggah foto-foto yang sifatnya tergolong foto dokumentasi, bahkan dokumentasi kegiatan yang sangat pribadi.

Kegiatan fotografi yang ditayangkan di televisi pun masih sekedar sebagai penarik rating belaka. Saya masih ingat beberapa waktu lalu ada sebuah stasiun televisi yang menayangkan acara behind the scene-nya pemotretan model untuk sebuah majalah hiburan pria. Acara tersebut sebetulnya sangat menarik dengan hadirnya model-model perempuan yang cantik, berpakaian minim, dan berpose sensual. Akan tetapi, diskursus yang berkembang dari acara itu hanya dua. Pertama adalah diskursus berbagi masalah proses kreatif yang umumnya membicarakan pengolahan ide dan teknis. Diskursus ke dua adalah hal yang tidak tayang yakni pembicaraan para laki-laki di luar konteks fotografi: seksualitas dada dan paha. Kedua diskursus itu menempatkan fotografi hanya sebagai media ‘penggugah’ seksualitas. Program itu juga berhasil menyudutkan fotografi hanya sebagi aktivitas motret model dan landscape saja. Persis seperti yang selalu dirisaukan seorang kolega saya dalam berbagai kesempatan diskusi.

Itulah seperti apa yang saya maksud sebagai fotografi Indonesia masih lekat dengan berkaitan dengan industri pencitraan dan komodifikasi identitas. Fotografi Indonesia memang masih sangat ganjen dengan aktivitas memotret model dan landscape, sementara persoalan-persoalan lain disisihkan karena dianggap tidak komersial. Foto-foto bertema kebudayaan Indonesia pun akhirnya terjebak pada foto yang menampilkan budaya-budaya yang dianggap an sich dan eksotis: memakai baju adat/tradisional, menari, menabuh gamelan, melakukan aktivitas ritual, dan selesai sampai situ. Dengan kata lain, fotografi Indonesia masih menyimpan jejak-jejak kolonialisme yang akut di dalam tubuhnya. Persis seperti yang dilakukan oleh Kolonialis Belanda yang memotret eksotisme Nusantara sebagai upaya menaklukan negara jajahan melalui gambar 6).

Dunia pengkajian fotografi ilmiah pun masih dimarjinalkan. Masih sangat sedikit literatur yang bisa kita temukan yang membahas fotografi dengan keterkaitannya dengan ilmu lain. Bahkan literatur sejarah fotografi di Indonesia pun masih sangat minim. Buku-buku yang sudah pernah terbit tidak pernah dicetak ulang karena nampaknya fotografer Indonesia tidak terlalu suka membaca. Ini bisa kita buktikan dengan gugurnya banyak majalah foto di Indonesia. Sepertinya tidak banyak fotografer atau akademisi di Indonesia yang mau menggali hal-hal lain di luar persoalan teknis dan teknologi fotografi. Majalah-majalah yang masih ada atau situs-situs di internet yang berbahasa Indonesia pun lebih sering mengulas produk peralatan fotografi seolah hendak menjadikan fotografer menjadi mahluk yang konsumeristis dengan jargon teknologi canggih menjanjikan gambar yang baik.

Bila dibandingkan dengan sastra Indonesia misalnya, fotografi Indonesia jauh tertinggal. Sastra dalam evolusinya, hingga dewasa ini berada di dua ranah yang berbeda yang saling berkaitan satu sama lain: sastra sebagai ilmu, dan sastra sebagai karya. Sebagai ilmu, sastra berada di wilayah penelitian dan pengkajian karya dari berbagi sudut pandang manusia. Mulai dari pembahasan bahasa, teknis penulisan, hingga penafsiran makna. Sebagai karya, sastra diproduksi dalam kemasan yang dikenal orang diantaranya sebagai puisi/sajak, cerita pendek, juga novel. Wilayah proses kreatif dalam berkarya yang berhubungan dengan sisi teknis, saya rasa berada di wilayah ini. Dari sisi komersial, sastra juga memiliki tempat tersendiri, walau untuk hal ini masih jarang dibahas. Pembahasan komodifikasi sastra umumnya sering dibahas sebagai bagian dari cultural studies atau post-modernism yang berada di wilayah sastra sebagai ilmu.

Contoh lain di wilayah seni rupa, seni rupa tidak melulu berkutat pada masalah cara melukis, cara membuat patung dan sebagainya. Tetapi juga menguraikan simbol-simbol dan makna yang terdapat di dalam sebuah karya. Tidak pernah rasanya saya membaca artikel tentang keberhasilan pelukis Basuki Abdullah adalah karena ia melukis menggunakan kuas, cat, dan kanvas merek tertentu. Atau tentang perupa Tisna Sanjaya yang gemilang menciptakan instalasi bambu dengan memakai bambu merek tertentu yang dipotong dengan golok dan gergaji merk tertentu, misalnya.

Sebaliknya dengan dunia fotografi Indonesia. Di dunia fotografi Indonesia merk kamera tertentu dengan jenis lensa tertentu seolah menjadi jaminan kualitas karya foto seseorang. Kualitas fotografer seolah ditentukan dengan alat dan teknis yang digunakan, bukan pada bagaimana karyanya menjadi simbol keberhasilan pengolahan gagasan kreatif. Mengenai hal ini, seorang senior dengan sebal pernah mengatakan bahwa dengan membeli xxxxx (xxxxx: merk kamera sejuta umat di Indonesia) tidak membuat seseorang menjadi fotografer.

Berbeda dengan fotografi Barat sana (baca: Amerika Serikat dan Eropa). Dengan sedikit usaha melalui Google, saya menemukan banyak sekali situs yang membicarakan fotografi sebagai diskursus non-teknikal. Dengan beberapa kali klik di sebuah situs, dalam satu malam saja saya bisa mengunduh ratusan e-book tentang fotografi dan keterkaitannya dengan banyak hal. Mulai buku panduan memotret model bugil hingga memotret bebatuan dan kekayaan mineral. Mulai dari membahas fotografi sebagai media dokumentasi, fotografi dan ideologi, hingga fotografi sebagai piranti komodifikasi dan kapitalisasi. Di dalamnya terselip juga buku-buku yang menjadikan fotografi sebagai cara untuk mengembangkan pemikiran mengenai perkembangan budaya populer dan sistem pertandaan.

***

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam upaya mengembangkan fotografi sebagai ilmu dan sebagai karya. Dari segi ilmu, dibutuhkan banyak akademisi, penulis, dan pemikir yang mau meluangkan waktunya untuk turut serta mengembangkan fotografi agar bisa berkembang menjadi ilmu dan diskursus seperti yang terjadi di dunia seni lainnya. Dari segi karya, masih sangat terbuka peluang bagi para fotografer untuk melampiaskan kegelisahan estetika dan ideologisnya menjadi karya yang bisa disejajarkan dengan fotografer luar. Tidak sekedar mengekor Ansel Adams, Henri Cartier Bresson, atau Andy Warhol misalnya, tetapi bisa memiliki ciri khas pribadi yang bisa dikenang sepanjang masa. Bagi para fotografer komersial, teknologi fotografi digital telah membuka lapangan kerja yang luas dengan berbagai kemudahan yang memanjakan.

Dari sisi lain, memang diperlukan pula komunitas fotografi yang mendukung terciptanya alam dan atmosfir yang akan menghasilkan semua itu. Komunitas tersebut bisa berupa kelompok hobi, kelompok diskusi fotografi, atau institusi pendidikan fotografi dan seni. Tanpa habitat dan ekosistem yang sesuai, keinginan itu tidak akan pernah terealisasi. Karena bagaimanapun juga, menyitir Ibnu Khaldun, manusia adalah produk yang dikonstruksi oleh pemikiran dan kebiasaan sosial lingkungan tertentu. Harapan terbesar tentu ditujukan untuk lingkungan akademis di perguruan tinggi. Karena institusi pendidikanlah yang bisa melakukan penggodogan terhadap berbagai diskursus fotografi sebagai ilmu inter-disiplin yang bisa memanusiakan manusia, mengembalikan manusia pada khittah kemanusiaanya yang beradab. Para akademisi biasanya memiliki metode yang bisa dikembangkan untuk mendidik fotografer yang mumpuni secara praktis maupun secara akademik. Hal ini perlu dilakukan agar bisa meng-counter tekanan industri dan kapitalisasi yang hanya menempatkan manusia sebagai komoditas ekonomi belaka yang divisualkan dalam foto-foto, yang sebetulnya tidak bermakna apa-apa selain estetika yang semu dan palsu.

21 Februari 2010
Ricky N. Sastramihardja
Pecinta Kopi dan Fotografi

————————–
1)Ibnu Al Haitham atau Alhazen (965-1039 M), adalah ilmuwan Mesir yang menemukan dasar-dasar ilmu optik. Eric Renner dalam Pinhole Photography, From Historic Technique to Digital Application (Elsevier inc, London; 2010) menjelaskan bahwa Ibnu Al Haitam ini menulis dasar teori yang kemudian dikembangkan menjadi perangkat fotografi generasi awal, kamera obskura. Teori dasar Ibnu Al Haitam ini juga kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes dan Johannes Kepler.
2)George Eastman adalah pendiri perusahaan fotografi KODAK yang sangat berambisi untuk menjadikan fotografi sebagai kegiatan yang mudah dilakukan. Tidak hanya untuk profesional tetapi juga untuk amatir, bahkan kanak-kanak. Kecerdasannya antara lain dengan menciptakan slogan Kodak yang terkenal, “You press the button, we do the rest”, yang kemudian diwujudkannya dalam kamera Kodak Brownie di awal tahun 1900. Baca:Encylopedia of Nineteenth Century Photographs Volume I, A-I. John Hannavy (ed.); Routledge New York; 2008.
3)Baca: Visual Anthropology: Photography As a Research Method. John Collier, Malcom Collier; University of New Mexico; 1986).
4)Sutan Sjahrir: Demokrat sejati, Pejuang Kemanusiaan. H. Rosihan Anwar, Penerbit Buku Kompas, Jakarta; 2010.
5)Dalam sebuah pengkajian mengenai semiotika, ST. Soenardi dalam Semiotika Negativa (Kanal, Yogyakarta; 2002) menyebutkan bahwa Studium adalah kebutuhan kultural akan fantasi, sedangkan punctum atau punctuation adalah identitas imajiner. Perlu diketahui juga, Barthes bukanlah fotografer walau ia memiliki minat khusus terhadap itu. Tidak pernah diketahui apakah ia memiliki karya foto atau tidak. Baca juga: Roland Barthes. Graham Allen, Routledge, New York; 2003.
6)Dalam sejarah panjang Kolonialisme di Indonesia, Yudhi Soerjoatmodjo mengungkapkan bahwa fotografer-fotografer asing dari Woodbbury and Page yang bertugas di Hindia Belanda, selain memotret untuk keperluan bisnis, juga memotret untuk keperluan penaklukan negara jajahan. Foto-foto tersebut dipergunakan sebagai cara untuk mendefinisikan wilayah Nusantara dalam kepentingan Kerajaan Belanda. Di sini mungkin penafsiran fotografi secara non-fotografis melalui ilmu budaya, sosial, dan politik dilakukan untuk memetakan kondisi negara jajahan. Fotografi ini juga melahirkan fotografi salon yang kuat pengaruhnya di Indonesia hingga dewasa ini.

*Tulisan ini dimuat oleh APC Institute dengan seizin penulisnya yaitu Ricky N. Sastramihardja.

May 30, 2011

Kassian Cephas, Legenda Pemotret Indonesia dan Saksi Sejarah Fotografi Tanah Air

Oleh galih sedayu

Kassian Cephas, 1905 (Courtesy P.Cephas)

Kassian Cephas. Tidak bisa dipungkiri bahwa nama besar tersebut erat kaitannya dengan keberadaan  dan identitas fotografi indonesia. Cephas banyak disebut sebagai pelopor pemotret pribumi yang pertama di indonesia. Terlahir dengan nama Kasihan di Kota Yogyakarta pada tanggal 15 Januari 1845, merupakan putra dari seorang ayah yang bernama Kartodrono dan seorang ibu yang bernama Minah. Tetapi beberapa literatur menyebutkan bahwa Cephas merupakan anak asli orang belanda yang bernama Frederik Bernard Franciscus Schalk dan lahir pada tanggal 15 Februari 1844. Setelah masuk kristen protestan dan dibaptis pada tanggal 27 Desember 1860 di sebuah gereja di Kota Purworejo, nama Kasihan berubah menjadi Kassian Cephas. Nama “Cephas” tersebut merupakan nama baptis yang sama artinya dengan Petrus dalam bahasa indonesia.

Cephas belajar fotografi untuk pertama kalinya kepada seorang fotografer dan pelukis yang bernama Isodore Van Kinsbergen di Jawa Tengah poda kurun waktu 1863-1875. Selain Kinsbergen, Cephas pun sempat berguru kepada Simon Willem Camerik, seorang fotografer dan pelukis yang kerap mendapatkan tugas memotret kraton Yogyakarta dari Sultan Hamengkubuwono VII. Pada tahun 1870 ketika Camerik meninggalkan Yogyakarta, Cephas diberi amanat oleh Sultan Hamengkubuwono VII sebagai fotografer dan pelukis resmi kraton Yogyakarta.  Karya foto pertama Cephas menggambarkan obyek Candi Borobudur yang dibuat pada tahun 1872.

Circa 1890. KITLV 40154; 11×16 cm ; albumen print

Cephas memiliki sebuah studio foto di daerah Loji Kecil yang sekarang letaknya berada di Jalan Mayor Suryotomo dekat Sungai Code di Jawa Tengah. Cephas pun mempunyai seorang asisten foto yang bernama Damoen. Nama Cephas semakin bersinar ketika Isaac Groneman yaitu seorang dokter resmi sultan asal belanda memujinya di sebuah artikel yang ia tulis untuk untuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia) pada tahun 1884. Kemudian Cephas bergabung dengan sebuah perkumpulan yang didirikan oleh Isaac Groneman dan J.W. Ijzerman mendirikan Vereeniging voor Oudheid-, Land,- Taal- en Volskenkunde te Yogjakarta (Union for Archeology, Geography, Language and Etnography of Yogyakarta) pada tahun 1885 ( yang selanjutnya disebut Vereeniging voor Oudheid). Karir Cephas pun semakin meningkat ketika ia bergabung dengan perkumpulan tersebut. Terbukti ketika karya-karya foto Cephas masuk ke dalam dua buah buku yang dibuat oleh Isaac Groneman, In den Kedaton te Jogjakartadan De garebeg’s te Ngayogyakarta dan diterbitkan oleh penerbit komersial Brill di kota Leiden pada tahun 1888. In den Kedaton berisi tulisan dan gambar collotypes tarian tradisional Jawa. Sedangkan De garebeg’s berisi tulisan dan gambar upacara Garebeg. Semua gambar foto collotype dibuat Chepas atas ijin dari Sultan Hamengkubuwono VII. Kompilasi karya Cephas pun kemudian dijadikan souvenir bagi kaum elit eropa yang akan pulang ke negaranya serta kaum pejabat baru belanda yang mulai bertugas di Kota Yogyakarta.

Tittle Page of De garebeg’s

Pada tahun 1889-1890 Pemerintah Hindia Belanda menunjuk Cephas untuk membuat foto tentang situs-situs Hindu-Jawa Kuno di Jawa Tengah. Dimana Candi Borubudur merupakan salah satu obyek foto situs tersebut setelah penemuan dasar tersembunyi yang memuat relief Karmavibhanga pada tahun 1885 oleh J.W. Ijzerman. Setelah berakhirnya proyek pengangkatan relief Candi Borobudur di akhir tahun 1891, jumlah foto yang dihasilkan Chepas adalah 164 foto dasar tersembunyi, 160 foto relief dan 4 foto situs Borobudur. Pada saat yang bersamaan, Cephas memperoleh status gelijkgesteld met Europanen (sejajar dengan orang Eropa) untuk dirinya dan kedua anaknya, Sem dan Fares dari Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1892 Chepas diangkat sebagai anggota luar biasa Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia. Cephas pun pernah mendapat kesempatan untuk memotret kunjungan Raja Rama V (Chulalongkorn) dari Thailand ketika raja tersebut menyambangi Yogyakarta pada tahun 1896. Salah satu jejak karya Cephas yang lain adalah Buku Wajang orang Pregiwa yang dibuat oleh Sultan Hamengkubuwono VII untuk kemudian diberikan kepada Ratu Wilhelmina dan Pangeran Hendrik dari Mecklenburg-Schwerin sebagai hadiah pernikahan mereka berdua.

Cover of the Wajang orang Pergiwa

Pada saat Cephas berumur 60 tahun, beliau mulai pensiun dari bisnis fotografi yang digelutinya. Dimana Sem, putra Cephas lah yang meneruskan karirnya di dunia fotografi. Tanggal 16 November 1912 menjadi hari yang bersejarah. Kassian Cephas meninggal dunia setelah mengalami sakit yang berkepanjangan. Cephas dimakamkan di Kuburan Sasanalaya yang terletak antara pasar Beringharjo dan Loji kecil. Begitulah sekelumit episode singkat tentang kehidupan Kassian Cephas, seorang pahlawan fotografi indonesia yang menjadi legenda. Yang ironisnya kadang dilupakan oleh sebagian individu yang menyebut dirinya fotografer indonesia. Walaubagaimanapun nama Kassian Cephas harus terus tercatat di dalam lembaran sejarah fotografi indonesia. Seorang tokoh yang begitu banyak menghadirkan jejak karyanya seiring dengan sejarah perkembangan bangsa indonesia. Agar menjadi bagi kita sebuah kisah yang terus menyulut api semangat dan menanamkan pohon inspirasi tidak hanya bagi para pewarta cahaya melainkan juga bagi sebuah bangsa yang merdeka.

Sumber Pustaka :

* Groeneveld, Anneke. (ed.). 1989. Toekang Potret100 Jaar Fotografie in Nederlandsch Indie 1839-1939. Amsterdam: Fragment.

* Knaap, Gerit. 1999. Chepas, Yogyakarta; Photography in the service of Sultan. Leiden: KITLV Press.