Archive for June, 2013

June 29, 2013

RAMADHAN EXPOSURE : Trilogi Workshop Fotografi (Street, Still Life & Model Photography)…{CLOSED}

Ramadhan Exposure

air foto network mempersembahkan program fotografi selama bulan puasa yang bertajuk

RAMADHAN EXPOSURE
Trilogi Workshop Fotografi (Street Photography, Still Life Photography & Model Photography)

WAKTU & TEMPAT
1) Street Photography Workshop
* Ranu, 17 Juli 2013 ; Pukul 15.00 s/d 19.00 WIB
* Taman Kampung Pulosari ; Depan Lapangan Bawet, di bawah kolong Jembatan Flyover Pasupati Bandung (Masuknya bisa dari arah Balubur Town Square/Baltos)
2) Still Life Photography Workshop
* Sabtu, 20 Juli 2013 Pukul 15.00 s/d 19.00 WIB
* Cawan Photo Space, Komplek Surapati Core Blok M32 Lantai 3 Bandung
3) Model Photography Workshop
* Kamis, 25 Juli 2013 ; Pukul 15.00 s/d 19.00 WIB
* Cawan Photo Space, Komplek Surapati Core Blok M32 Lantai 3 Bandung

BIAYA
* Biaya pendaftaran untuk masing-masing workshop fotografi sebesar Rp 75.000,-
* Bagi peserta yang mengambil keseluruhan workshop (3 x) akan mendapat potongan sebesar Rp 25.000,-
* Pembayaran dapat dilakukan secara langsung di air foto network atau melalui transfer ke rek BCA atas nama Christina Listya Budhi 4370828551 KCP Ahmad Yani (konfirmasi pembayaran melalui telepon ke no 022-87242729).

FASILITAS
Handout fotografi.
Makan malam (tajil & menu buka puasa).
Sertifikat.

KETERANGAN
* Untuk keperluan pendataan, bagi peserta yang ingin mengikuti program ini dimohon untuk mem-follow & mention twitter air foto network (@airfotonetwork) dengan cara menuliskan nama lengkap, kota & mencantumkan hashtag #RamadhanExposure
Contoh : Titik Puspa, Bandung  | @airfotonetwork | #RamadhanExposure

Mengalir sampai jauh…

INFO LANJUT
air foto network
agensi, edukasi & manajemen fotografi
surapati core blok m32
jl. phh. mustofa 39 bandung 40192
telp. +62-22-87242729
airfotonetwork@gmail.com
facebook / air foto network
twitter @airfotonetwork
http://www.airfotonetwork.com

Advertisement
June 26, 2013

Thilly Weissenborn, perempuan fotografer pertama di Hindia Belanda

Thilly

Oleh Ridwan Hutagalung (Mooibandoeng)

Hingga saat ini rasanya informasi tentang Thilly Weissenborn, perempuan fotografer pertama di Hindia Belanda ini, masih sangat sedikit tersedia. Di media internet pun tidak mudah mencari informasinya. Karya-karya fotonya memang banyak beredar, terutama di situs Tropen Museum, tapi tidak informasi yang berkaitan dengan manusianya.

Dari yang sedikit itu, mungkin hanya halaman ini saja yang cukup banyak bercerita tentang Thilly: http://collectie.tropenmuseum.nl/default.aspx?ccid=P8095. Berikut ini saya tulis ulang berdasarkan terjemahan oleh @yoyen.

Thilly dilahirkan tahun 1889 di Kediri, Jawa Timur, dengan nama Margarethe Mathilde Weissenborn. Tentang tahun kelahirannya ini, ada juga yang mengatakan ia dilahirkan di Surabaya pada 22 Maret 1883. Pasangan orang tuanya, Herman Weissenborn dan Paula Roessner, adalah keturunan Jerman yang sudah menjadi warga negara Belanda. Mereka mempunyai perkebunan kopi di Kediri.

Pada tahun 1892, Paula Roessner kembali ke Den Haag, Belanda, membawa serta Thilly dan kakak-kakaknya, dua perempuan dan dua laki-laki. Ayahnya menyusul setahun kemudian. Pada tahun 1897 ayah Thilly dan kakak tertuanya pindah ke Tanganyika dan menjadi pengusaha perkebunan di sana.

Selama di Den Haag, Thilly belajar fotografi kepada kakaknya, Else, yang membuka studio fotografi di Den Haag pada tahun 1903. Thilly dan kakaknya, Theo, kembali ke Hindia Belanda dan tinggal bersama kakaknya yang lain, Oscar, di Bandung. Kemudian Thilly ke Surabaya mengikuti Theo yang mendapatkan pekerjaan di sana.

Thilly juga mendapatkan pekerjaan di sebuah studio foto, Atelier Kurkdjian. Di sini Thilly bekerja di bawah pengawasan fotografer Inggris yang berbakat, G.P. Lewis. Atelier Kurkdjian dimiliki oleh seorang fotografer keturunan Armenia, Onnes Kurkdjian. Studio ini mempekerjakan 30 orang pegawai dan Thilly adalah satu dari dua perempuan yang bekerja di sana.

Atelier Kurkdjian banyak membuat karya fotografi yang sekarang menjadi sangat berharga karena menyimpan informasi masa lalu yang dianggap penting. Sejumlah koleksi studio foto ini diterbitkan sebagai bagian panduan wisata oleh biro pariwisata Hindia Belanda pada tahun 1922 dengan judul Come to Java.

Pada tahun 1917, Thilly pindah dan menetap di Garut, di tengah-tengah wilayah pergunungan yang beriklim sejuk. Di kota ini, Thilly dipercaya untuk mengelola G.A.H. Foto Atelier Lux milik pendiri N.V. Garoetsche Apotheek en Handelsonderneming yang juga fotografer amatir yang fanatik, Dr. Denis G. Mulder. Pada tahun 1920, Mulder pindah ke Bandung dan Thilly secara resmi mengambil alih Foto Atelier Lux serta mengganti namanya menjadi hanya Foto Luxdengan alamat di Societeitstraat 15 (sekarang Jl. Ahmad Yani). Pada tahun 1930 Thilly meresmikan perusahaannya sebagai N.V. Lux Fotograaf Atelier.

Thilly Weissenborn mengembangkan kemampuan tekniknya dalam bidang fotografi potret dan arsitektur-interior. Foto-foto lansekap serta human interest-nya menarik perhatian banyak orang. Selama lebih dari 20 tahun Thilly tinggal di Garut sampai kedatangan Jepang membuatnya harus mendekam dalam kamp interniran di Karees, Bandung, sejak tahun 1943.

Setelah Perang Dunia II dan Kemerdekaan RI, kota Garut termasuk yang cukup banyak mengalami kerusakan. Pada tahun 1947, Foto Lux milik Thilly sudah dalam keadaan rata dengan tanah. Semua koleksi foto dan studionya ikut hilang dan rusak.

Pada tahun 1947 itu pula Thilly menikah dengan Nico Wijnmalen dan menetap di Bandung. Kedua kawan sejak lama ini menikah dalam usia tua, masing-masing 58 tahun dan 60 tahun. Belum ada informasi di mana ia tinggal bersama suaminya dan bagaimana kelanjutan pekerjaannya sebagai fotografer. Tahun 1956, Thilly Weissenborn kembali ke Belanda hingga meninggal di Baarn, pada 28 Oktober 1964.

Koninklijk Indische Tropenmuseum mempunyai foto album (koleksi nomor 270) yang menurut perkiraan kurator adalah album utamanya di Foto Lux. Di album utama ini foto-foto Weissenborn ditempel supaya calon pembeli dapat melihat dan memesan. Masa itu hal yang biasa untuk membuat album utama dengan bahan yang profesional. Semua fotonya dicetak menurut proses gelatin perak dengan sinar alami. Dan di atas foto-foto itu terdapat tanda: Foto Lux, Garut.

Selama berkarya sebagai fotografer, Thilly telah membuat rekaman foto di banyak tempat di Hindia Belanda, di antaranya Sukabumi, Tasikmalaya, Bogor, dan Bandung. Karya-karya fotonya di Bali termasuk yang mendapatkan apresiasi tinggi. Selain itu, Thilly juga membuat foto di Pasuruan dan daerah-daerah lain di Jawa Timur hingga Bali dan Flores. Sejak tinggal di Garut, banyak sekali foto pemandangan dan suasana sekitar Garut yang telah dibuatnya.

Kumpulan foto-foto karya Thilly Weissenborn diterbitkan dalam buku Vastgelegd voor later, Indische Foto’s (1917 – 1942) yang disusun oleh salah satu kakak perempuannya, Ernst Drissen.

* Tulisan yang diposting di blog ini sudah mendapat izin dari penulis yang bersangkutan

June 24, 2013

Photography is dead

Ali Mecca

Oleh Ali Mecca

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa saat ini fotografi merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, kepopuleran fotografi menyeruak ke setiap lini kehidupan masyarakat, melahirkan era yang kita kenal sebagai era budaya visual. Ia hadir di ruang-ruang publik, di kaca angkutan kota, papan reklame, daftar menu makanan, jejaring sosial, bahkan bantal tidur. Fungsinya macam-macam sebagai alat kampanye politik, representasi identitas sosial, iklan prodak, iklan layanan sosial, hingga iklan fotografi itu sendiri (lihat; iklan rokok tentang fotografer perang).

Fotografi sebagai lifestyle

Bersamaan dengan kemajuan ekonomi dan peningkatan kemakmuran di Indonesia, fotografi ikut tumbuh dan berkembang dengan cara yang masif. Akan tetapi, hal ini tidak ditunjang dengan tumbuhnya institusi-institusi pendidikan yang mengajarkan keilmuan fotografi secara komprehensif. Perbincangan fotografi masih berkutat pada masalah teknis dan estetis sahaja, belum menyentuh pada korelasinya dengan sejarah, sosial, budaya, atau filsafat. Jikapun ada, itu masih sekedar riak-riak kecil saja dan melalui komunitas atawa institusi-institusi yang itu-itu saja. Alhasil, dapatlah saya katakan bahwa saat ini fotografi di Indonesia hanyalah lifestyle, ia sekedar komoditi untuk pemuas dahaga masyarakat konsumtif kita yang memaknai medium kamera sebagai simbol kemapanan atau sekadar untuk keren-kerenan.

Pendapat ini bukan tanpa bukti, kita lihat kekacauaan perayaan Waisak di Candi Borobudur beberapa waktu lalu (25/05), sejumlah biksu mengeluhkan banyaknya fotografer yang tetap memotret ketika prosesi doa tengah berlangsung, bahkan dengan mengambil jarak pemotretan yang sangat dekat dan disertai lampu flash. Kejadian ini membuka mata kita bahwa perayaan waisak sudah tidak dimaknai sebagai ritual yang sakral, tetapi hanya dianggap sebagai objek wisata yang dapat dipotret-dieksploitasi sekehendak jari melepas tombol rana. Hal yang tentu saja telah melukai banyak pihak, khusunya umat Buddha yang menjalankan prosesi ibadah tersebut.

Beragam tanggapan di berbagai jejaring sosial bermunculan terkait mencuatnya isu memotret perayaan Waisak tersebut. Melalui akun twitternya, pengelola Candi Borobudur, @BorobudurPark menyatakan “Memotret acara waisak juga tidak dilarang. Akan tetapi banyak fotografer yang tidak tahu sopan santun”. Sementara itu, para pegiat fotografi pun ikut menyayangkan, mereka menyuarakan keprihatinan akan rendahnya etika memotret yang dimiliki oleh “fotografer-fotografer” di Indonesia. Nilai etika, toleransi, dan empati telah digadaikan oleh para “fotografer” ini demi mengejar sebuah tujuan, yakni estetika.

Perkembangan modernisasi dan industrialisasi menyebabkan masyarakat kontemporer kita lebih menyenangi gaya ketimbang makna, lebih menghargai penampilan ketimbang kedalaman, lebih mengejar kulit ketimbang isi (Piliang, 2010:38). Pernyataan ini memiliki makna bahwa tabiat masyarakat kita pada saat ini memang senang melakukan pencitraan sebagai representasi identitas sosialnya. Dalam konteks fotografi dan budaya visual semua orang ingin dilihat sebagai fotografer, namun pemahaman akan ilmu fotografinya masih sekedar di “permukaan”. Salah siapakah ini?

Estetika dan Etika Perwujudan Diri

Dalam studi filsafat, pada awalnya estetika digolongkan dalam persoalan nilai, atau filsafat tentang nilai, sejajar dengan nilai etika. Namun, seiring dengan perkembangannya pada abad-20, filsafat keindahan ini mulai bergeser ke arah keilmuan. Studi estetika yang mulanya merupakan bagian dari pemikiran umum seorang filsuf pada akhirnya mengkhususkan diri pada perbincangan karya-karya seni saja, dengan tetap menggunakan metode spekulatif yang diperkuat oleh ciri empiris. (Sumardjo, 2000:26).

Pada dasarnya, estetika ilmiah bekerja dengan bantuan ilmu-ilmu lain, seperti psikologi, sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya. Dalam praktek fotografi yang tujuannya adalah “keindahan”, seharusnya estetika ilmiah ini dapat dijadikan sebagai dasar ilmu oleh para pelaku fotografi di Indonesia, karena ia berfungsi sebagai sebuah landasan yang menjadi fundamen dalam proses berkarya. Inilah tugas berat yang diemban para akademisi fotografi dari setiap institusi pendidikan untuk memberikan pemahaman tersebut. Jika fotografi hanya dipandang sebagai produk ekonomi dan penghasil produk ekonomi, maka nilainya menjadi rendah. Sebagaimana yang dikatakan Kattsof, nilai kegiatan akali jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai barang-barang ekonomi, karena dalam dirinya sendiri kegiatan akali sudah mengandung kebaikan, jauh lebih bersifat produktif dibandingkan dengan barang-barang ekonomi (Kattsof, 2004: 358).

Ketika dihadapkan pada persoalan seperti diatas, seharusnya kita sudah memiliki kesadaran ilmiah untuk menentukan pendekatan apa yang selanjutnya dilakukan, karena kesadaran ilmiah akan membawa kita pada penggalian yang lebih mendalam lagi. Pendekatan ilmu Antropologi adalah hal yang paling relevan dalam permasalahan ini. Metode penelitiannnya yang dikenal dengan istilah etonografi dapat dipergunakan untuk mengkaji persoalan budaya macam perayaan Hari Waisak. Layaknya seorang peneliti sosial, etnografi akan membantu fotografer mendapatkan pemahaman yang sistematik mengenai aktivitas atau gejala kebudayaan suatu masyarakat. Pada akhirnya kita akan mendapatkan pemahaman yang dalam tentang subjek yang akan kita potret, lalu kesadaran etika berfotografi akan tumbuh seiring dengan kedalaman pemahaman tersebut.

Akan tetapi, tidak usahlah terlalu muluk dengan meminta para “fotografer” ini menggunakan metode penelitian etnografi sebelum melakukan aktivitas fotografinya, karena metode tersebut memang membutuhkan waktu yang cukup lama, berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Riset kecil-kecilan dengan memanfaatkan berbagai artikel di internet pun kiranya sudah cukup guna mendapat gambaran umum tentang perayaan hari suci agama Buddha ini. Harapannya adalah, agar kejadian-kejadian seperti ini tidak berulang terus menerus di setiap tahun, di setiap ritual keagamaan yang lain. Selain itu langkah tersebut diharapkan juga dapat memperluas wacana fotografi sebagai ilmu pengetahuan, sehingga fotografi indonesia tidak lagi hanya mempersoalkan underover, tajam-tidak tajam, “indahtak indah, CanonNikon, dst, melainkan diperbincangkan lebih luas lagi melalui relasinya dengan sejarah, kondisi sosial, kebudayaan, dan filsafat.

Fotografi telah mati?

Pada masa-masa awal kelahiran fotografi yang dikembangkan oleh Joseph Nichore Nicephore Niepce (1765-1833), Louis Jacques Mande Daguerre (1787-1851), dan William Henry Fox Talbot (1800-1877), fotografi dianggap sebagai ancaman utama oleh para pelukis realis dan naturalis, karena ketepatannya yang sangat tinggi dalam memproduksi realitas. Seorang pelukis realis asal Perancis bernama Paul Delaroche lalu berkata “Mulai hari ini, lukisan telah mati”. (Ajidarma, 2002: 2)

Meskipun dalam konteks yang berbeda, namun masihlah dapat dipertanggungjawabkan relevansinya apabila saya meminjam kalimat dari Paul Delaroche untuk menyoroti perkembangan fotografi di Indonesia saat ini, bahwa “Mulai hari ini, Fotografi telah mati!”. Fotografi mati secara gagasan, fotografi mati secara etika, terkubur di bawah estetika yang dangkal.

Daftar Pustaka

Ajidarma, Seno Gumira. Kisah Mata, Galang Press, Yogyakarta, 2001

Kattsof, Louis O. Pengantar Filsafat, Penerbit Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta. 2004

Sumardjo, Jakob. Filsafat Seni, Penerbit ITB, Bandung. 2000

Piliang, Yasraf Amir. Dunia Yang aDilipat, Pustaka Matahari, Bandung. 2010

* Tulisan yang dimuat di blog ini atas seizin penulis yang bersangkutan

June 16, 2013

RIUNG SINEMA #10 : Pemutaran Film “Under Fire”…{CLOSED}

Riung Sinema #10

air foto network mengundang sahabat untuk hadir di program

RIUNG SINEMA #10
Pemutaran Film Fotografi

FILM
Under Fire

SINOPSIS SINGKAT
Film Under Fire menceritakan perihal kisah seorang jurnalis foto (diperankan oleh Nick Nolte) yang merekam berbagai kejadian politik (tahun 1983) sebelum hari-hari terakhir revolusi di Nikaragua yang dikuasai oleh rezim Presiden Somoza di tahun 1979. Film ini juga dibintangi oleh Gene Hackman & Joanna Cassidy. Sutradara film ini adalah Roger Spottiswoode dengan penata musik yakni Jerry Goldsmith yang juga menampilkan seorang gitaris jazz kenamaan, Pat Metheny. Pembuatan film ini terinspirasi dari pembunuhan seorang reporter dari ABC, Bill Stewart dan seorang penterjemah Juan Espinoza oleh Pasukan keamanan nikaragua pada tanggal 20 juni 1979.

WAKTU
Selasa 30 Juli 2013
Pukul 15.00 WIB

TEMPAT
AP Photo Library
Surapati Core M32 Lt 1
Bandung

KETERANGAN
* Untuk keperluan pendataan, bagi peserta yang ingin mengikuti program ini dimohon untuk mem-follow & mention twitter air foto network (@airfotonetwork) dengan cara menuliskan nama lengkap, kota & mencantumkan hashtag #RiungSinema10
Contoh : Titik Puspa, Bandung  | @airfotonetwork | #RiungSinema10

TENTANG PROGRAM
Riung Sinema adalah sebuah program pemutaran film-film perihal fotografi, film-film yang menceritakan karakter/tokoh fotografer dan film-film yang memiliki kekuatan visual karya sutradara ternama di dunia seperti Martin Scorsese, Akira Kurosawa, Oliver Stone, Steven Spielberg, Woody Allen, Stanley Kubrick, Francis Ford Coppola, David Linch, Joel & Ethan Coen, Steven Soderberg, Quentin Tarantino, Ang Lee, Wong Kar-Wai, dan lain lain. Setelah para partisipan melihat & menyimak film tersebut secara bersama-sama, program ini kemudian dilanjutkan dengan dialog dan diskusi interaktif yang melibatkan audience tentang isi, makna & kajian visual yang dihadirkan pada film tersebut. Program ini diprakarsai oleh air foto network yang bertujuan untuk menggali dan memperdalam wawasan visual yang didapat dari sebuah film dan kemudian mampu diterapkan ke dalam disiplin fotografi.

GRATIS!!!

Mengalir sampai jauh…

INFO LANJUT
air foto network
agensi, edukasi & manajemen fotografi
surapati core blok m32
jl. phh. mustofa 39 bandung 40192
telp. +62-22-87242729
airfotonetwork@gmail.com
facebook / air foto network
twitter @airfotonetwork
http://www.airfotonetwork.com

June 12, 2013

REALITA FOTOGRAFI : Satu Cermin balik Dunia Fotografi kita

firman ichsan

(c) Rodchenko

Oleh Firman Ichsan

Boleh jadi pengakuan pada fotografi sebagai seni di Asia Tenggara mencapai puncaknya, ketika peserta dengan karya fotografi pada ASEAN art Awards 2002 menjadi pemenang utama. Kenyataan baru ini agaknya akan menyebabkan semakin banyak yang tergugah dan tertarik untuk membahas tentang apa dan bagaimana fotografi ini sebagai media seni, dan tentu kelanjutannya di pasar benda seni.

Dari bentuk bentuk senirupa yang sudah dikenal sejak zaman republik budak Yunani dulu dengan istilah the 7 arts; tari, musik, teater, lukis, patung, literatur dan arsitektur. Fotografi baru lahir jauh kemudian dalam awal zaman industri yang kapitalistis, tepatnya tahun 1835 ketika Niepce dan Daguerre untuk pertama kalinya memperkenalkan camera.

Lahir di zaman gejolak filsafat, ideology, tehnologi dan psikologi, dari semula fotografi sudah ditantang akan pertanyaan; apakah fotografi itu seni atau bukan. Pada saat yang bersamaan ia juga dinyatakan sebagai perekam realita yang tak tertandingi lagi, padahal saat itu hasil jadi fotografi berada diatas plate dan berwarna logam. Sekarang,melalui perjalanan waktu yang cukup panjang, memang tidak ada lagi keraguan untuk mempertanyakan apakah fotografi bagian dari seni rupa atau bukan. Namun demikian tidak banyak yang sadar bahwa pengakuan fotografi sebagai bentuk seni terutama di pasar belum lama terjadi. Cara kerja yang mekanis dan tanpa sentuhan langsung tangan seniman pada karya sempat lama menjadi pertimbangan. Setelah mendapatkan pengakuan, fotografi pun sebenarnya lama lebih dianggap sebagai seni merepresentasi realita dari seni mengekspresi diri, oleh kemampuannya merekam realita melebihi para pelukis naturalis dan menghadirkan satu realita yang jauh dari kita (kini media visual elektronik lebih piawai dalam kecepatannya). Tidak pula bisa dipungkiri bahwa di dunia seni fotografi dikenalnya Cartier Bresson, Robert Cappa sangat berhubungan dengan publisitas karya mereka di majalah majalah bergambar yang marak di tahun 30’an. Apa lagi nama nama seperti Irving Penn, Avedon, Helmut Newton, Robert Mapplethrope yang sangat berkaitan dengan majalah majalah Mode, dari pertengahan abad lalu sampai sekarang.

Patut juga diingat pula bahwa pameran foto Cartier Bresson di tahun 50’an yang dokumenter-jurnalistik, adalah pameran foto tunggal pertama di Museum Louvre. Sedang jual beli karya fotografi sebagai karya seni, baru menjadi perbincangan di tahun 1980 ketika karya cetak asli jurufoto Ansel Adams; Moonrise: Hernandez, mencapai harga U$ 45,000. Dan puncaknya ditahun 1992 ketika terjadi transaksi di bursa seni Christie atas karya jurufoto Uni Sovyet , Rodchenko; The Girl with a Leica, sebesar 115,000 poundsterling. Semenjak peristiwa peristiwa itu fotografi mendapat dimensi yang lain, ia mendapatkan tempatnya yang baru sebagai benda seni yang berdiri utuh sendiri, seperti kakaknya seni lukis. Kini memasuki abad ke duapuluhsatu semua Museum terkemuka di dunia memiliki kurator khusus untuk fotografi.

Seperti diungkap semula, semenjak kelahirannya fotografi sudah sarat dengan pernyataan pernyataan yang menerima maupun menolak kehadiran fotografi baik pada pengakuan akan keunggulannya menghadirkan realita ataupun sebagai media manifestasi ekspresi diri. Bukan saja antara mereka yang berada di dalam dan di luar kubu fotografi, tetapi juga antar sesama kubu fotografi sendiri. Misalnya antara pandangan realis (bukan dalam pengertian realisme social) yang menerima fotografi sebagai suatu karya yang menghadirkan realita dan pandangan para konvensionalis yang menganggap bahwa persepsi fotografi menghadirkan realita sebagai satu hal yang naïf; bahwa satu hasil kerja yang berasal dari film Tri-X di developed dengan D 76 untuk kemudian dihadirkan hitam putih dengan burning serta dodging, tidak mungkin dinyatakan sebagai realita. Belum lagi keputusan seorang ketika menjepretkan kamera. Adalah satu kenyataan bahwa seorang jurufoto harus menentukan rana dan kecepatan, serta mengkotakkan satu bidang pilihan dalam frame, tindak sensor sebelum menghadirkan “realita”nya juru foto. Selain itu semenjak kelahiran kamera (obscura), yang sesungguhnya merefleksikan gambar dalam bidang yang bundar, telah dibuat satu konvensi dengan membuat sudut pandang menjadi kotak persegi sesuai kebutuhan para pelukis dizaman renesans dulu. Perdebatan tentang realita ini terus masih berlangsung sampai sekarang apalagi dengan kehadiran kamera ccd digital yang merekam bukan hanya dengan cahaya melainkan kepekaan menangkap partikel elektris. Pembuatan foto peta Messier Grid oleh Paul Gitto dengan kamera digital yang mendapatkan kedudukkan bintang yang berbeda dengan ketika direkam oleh kamera analog, menjadikan perdebatan ini menjadi semakin aktual.

Ada juga sisi perdebatan yang lebih umum, seperti bagaimana fotografi sebaiknya? Haruskah ia berdiri obyektif, merekam gambar tanpa subyektivitas, untuk menghadirkan realita se”ada”nya. Atau sebaliknya? Bahwa fotografii harus dapat menampilkan kepekaan subyektivitas? Pertanyaan yang khas akan keberadaan fotografi oleh kenyataan akan kepercayaan pemirsa pada hasil jadi satu foto, apalagi ketika terpampang di satu media cetak-koran terpercaya.

Tentang bagaimana fotografi seharusnya. dalam sejarah fotografi pernah dikenal pendekatan pictorialist, prakarsa jurufoto Stiglietz (1864-1946, suami pelukis Georgia O’Keefe) dari Amerika Serikat. Ia menentang bentuk fotografi yang seolah hanya meniru para pelukis naturalis; penuh dengan rekayasa tehnis. Menolak pendekatan elitis salon fotografi Inggris diabad ke 191. Pendekatan pictorialist kemudian berkembang menjadi straight photography ditangan juru foto seperti Dorothea Lange (1895-1965) dan Walker Evans (1903-1975) yang menganggap juru foto mampu untuk merekam oyektivitas secara aestetis. Netral, tidak berfihak dan menghadirkan nilai nilai kemanusiaan. Ada juga para perupa Bauhaus seperti Mahology Nagy (1895-1946) atau Man Ray (1890-1976) yang melihat fotografi sebagai media ekspresi yang unggul oleh kemampuan tehnisnya yang modern; montage, double printing, solarisasi bentuk kerja-hasil yang khas fotografi. Disini tehnis menjadi penting tetapi bukan untuk kecantikan foto itu sendiri, melainkan menghadirkan satu estetika baru yang bahkan kadang anti estetika. Dalam perkembangannya bagi mereka yang gemar bekerja dengan metode ini serta merta dapat memahami serta menggunakan keunggulan system ccd’ digital.

Lain lagi dengan Rodchenko (1891-1956) yang akrab dengan constructivisme dan menyatakan bahwa fotografi telah menghadirkan satu realita baru dalam arti kata sesungguhnya; tehnis telah dimungkinkan untuk menghadirkan satu sudut pandang yang tidak pernah terlihat sebelumnya, misalnya bird eye view, low angle ataupun jarak kedekatan pada obyek mulai dari wide sampai macro2. Dan seperti pemikiran filsafat yang melatar belakangi Rodchenko ada satu keyakinan bahwa satu bentuk seni tidak bisa obyektif ia dilahirkan oleh pemikiran pemikiran yang subyektif dan untuk itu justru fotografi harus “berfihak”. Pendapat ini juga mendapat dukungan di dunia jurnalistik, yang marak menjelang perang dunia ke II. Perang saudara Spanyol melahirkan perupa perupa fotografi besar, yang memilih untuk membuat foto foto jurnalistik berfihak.

Sekarang ini kehadiran pernyataan pernyataan dan alasan bagaimana sebaiknya karya dibuat, semakin beragam. Bahkan banyak pendapat dari mereka yang tidak terlibat langsung dalam fotografi. Diantaranya tentu penulis Susan Sontag dan Roland Barthes, semiolog yang justru menggunakan pendekatan phenomenology pada karyanya tentang fotografi; Camera Lucida – Chambre Noire, karya terakhirnya sebelum wafat.

Sementara di dunia fotografi berbagai teori praxis juga terus bermunculan. Misalnya pada pameran Die Welte der Ganze di Bentara Budaya belum lama ini. Kurator Ulf Erdman menyatakan secara eksplisit bahwa ciri karya fotografi dokumenter jurnalistik terkini adalah aestetis dengan impak psikologis , yang dapat dibuat lebih baik bila perupa memberi jarak emosi pada obyek (bahkan secara fisik; suatu liputan tentang kematian direkam seminggu setelah peristiwa berlalu), serta pembebasan gambar dari teks untuk menghindari narasi, proses yang akan melahirkan satu gambar(an) yang obyektif. Bertentangan dengan pendapat Allan Sekula, yang menganggap bahwa satu hasil kerja fotografi adalah cermin ideologi seorang pada realita, satu tindak sosiologis yang aestetis dan bahwa; apabila gambar menyita ruang, teks mengisi waktu (konteks). Iapun sependapat dengan Burgin yang menyatakan bahwa kehadiran teks merupakan usaha untuk menghindari cara pandang yang salah. Victor Burgin dan Richard Prince dikenal dengan membuat foto dari iklan rokok terkemuka untuk menganalisa ideologi pria ideal dalam iklan tersebut, re-interpretasi dari iklan iklan tersebut dengan kritis. Bedanya bila Burgin menghadirkan iklan tersebut secara keseluruhan dalam ruang yang kontradiktif; iklan alam yang indah di ruang sumpek stasiun subway, maka Prince dikenal dengan reproduksi fragmentarisnya. Agak dekat dengan mereka adalah kerja Barbara Kruger yang mereproduksi iklan iklan tetapi pada representasinya ia menambahkan teks baru, yang memberi pengertian yang berbeda dan lebih sering sebagai kritik. Sesungguhnya masih banyak lagi nama nama jurufoto yang tidak mungkin dapat difahami karyanya tanpa pengertian akan teori landasan berfikir jurufoto. Karya yang bila dilihat hanya dari sisi tehnis dan aestetis tampak sederhana, ciri khas karya post Stieglietz, pasca kecenderungan aestetis formalis.

Wajarlah bila kritikus Eleanor Heartley menyatakan bahwa diakuinya karya Cindy Sherman (yang selalu menjadikan dirinya sendiri sebagai model dalam karyanya) sebagai karya yang baik, tidak lepas dari kenyataan bahwa Cindy bekerja berdasarkan pemahaman “post structural-feminism”; kesadaran mengeksploitir dirinya (perempuan) sebagai obyek fotografi. Seperti Madonna dengan buku foto serta musiknya yang berjudul “Sex”, dimana dengan sadar subyek menjadikan dirinya obyek, tetapi dengan kekuasaan mutlak terhadap pemirsa; kemampuan obyek (perempuan) sekaligus menjadi subyek untuk justru mendominasi pemirsa (pria); “You can’t touch me; eat your heart out!”. Agaknya memang, kini tidak bisa tidak, untuk dapat mengerti hasil kerja para perupa fotografi, seorang harus bisa memahami konsep dan teori.

Ada sisi lain yang patut diperhatikan oleh peminat seni fotografi. Adalah oleh kehadirannya yang relatif baru maka tidak mengherankan bahwa setelah peristiwa peristiwa transaksi tertulis diatas tadi, ketika cerita tentang re-salevalue, atau benda seni sebagai investasi mulai terdengar, barulah ia mendapatkan tempat yang mapan dalam pasar seni.

Fotografi seperti kerja seni lain yang dapat direproduksi secara mekanis, misalnya seni grafis, litogaphi, tidak memiliki ciri khas sebagai satu satunya karya asli. Untuk melindungi pemilik-pembeli pada masalah otentitas dan jumlah edar, ia diberi batasan cetak. Satu keadaan yang kebenarannya hanya akan terjadi bila ada satu kesepakatan etika diantara pencipta, penjual dan pembeli.

Dalam pasar tentu ini menjadi satu tantangan. Oleh karena sekali ia mendapatkan pengakuan maka kehadiran karya yang dapat direproduksi ini merupakan satu investasi yang tak ternilai. Edward Lucie-Smith, kritikus dan juga jurufoto menyatakan bahwa dizaman kapitalisme maju ini tidak ada investasi yang begitu lucrative dan penuh spekulasi seperti bursa saham selain pasar seni (bukan kebetulan kalau ada istilah bursa seni!)

Sebab itu tidak mengherankan bahwa dinegara negara maju justru kemampuan reproduksi yang semula dianggap dapat menjadi halangan untuk investasi bagi pembeli, oleh adanya lebih dari satu karya otentik, diubah menjadi satu kekuatan. Berlawanan dengan teori Walter Benyamin, yang menyatakan bahwa reproduksi akan menyebabkan semakin mudahnya satu karya dinikmati maka justru karya kini di reproduksi untuk kalangan terbatas, dengan penciptaan citra yang khas 3 . Tidak pernah terbayangkan bahwa satu seri karya fotografi berukuran 20×25 cm diibeli oleh New York Museum of Modern Art senilai satu juta dollar. Tentu saja tidak semua orang menerima, kritikus Richard Phillips menganggap bahwa transaksi atas karya Cindy Sherman; Untitiled Film Stills lebih oleh pertimbangan sensasi pasar dari muatan seni karya itu sendiri. Tetapi suka atau tidak suka transaksi ini telah berlangsung dan merupakan satu kejadian yang riel. Di negara negara maju mata rantai prosedur pengesahan (patron, kritisi, kurator dan museum) telah begitu mapan. Begitu juga saat melihat karya Gerald Richter4 yang trans fotografi maupun lukis, trans otentitas dan originalitas, sebagai manifestasi senirupa terkini, serta merta (seperti para perupa abstract expresionis dulu) ia dipilih untuk dikanonisir. Tahun 2002 dinyatakan sebagai tahun Richter, karya karyanya diedarkan secara serentak diseluruh dunia di semua Museum negara maju (di Indonesia dipamerkan di Jakarta dan Bandung). Bagi Museum yang tidak ingin ketinggalan zaman, karya Richter adalah satu keharusan; karya Richter ada di koleksi khusus fotografi prestisius LAC Switzerland sampai koleksi lukisan MoMA New York. Mekanisme reproduksi telah menjadikan karya Richter menjadi mesin investasi yang tak terbayangkan.

Pada perkembangannya, fotografi di Indonesia tumbuh berbeda dari seni lukis. Ketika para pelukis Indonesia aktif berjuang (serta dalam proses kemerdekaan) mereka sudah mencantumkan nama mereka dibidang kanvasnya. Berbeda dengan kakak beradik Mendur dan kawan kawannya yang tergabung dalam IPPHOS. Meski foto nya terpampang dalam banyak buku dan buku sejarah rasanya tidak banyak yang tahu siapa pencipta foto upacara penaikkan Sang Saka di tahun 1945. Begitu juga saat para pelukis (dan pematung) di tahun 1956 mendapatkan buku bergengsi pertamanya; koleksi lukisan Soekarno. Maka para juru foto menghadirkan kerja mereka di koran koran dan media cetak yang secara mutu relatif sederhana. Selain itu media pers memang belum memiliki ambisi untuk menggunakan fotografi sebagai alat komunikasi aestetis dibanding dengan para pelukis yang membuat illustrasi serta vignet. Fotografi lebih dilihat dalam kapasitasnya sebagai bagian dari pemberitaan.

Ketika S.Sudjojono mencoba berteori tentang bagaimana seni lukis di Indonesia sebaiknya, fotografi tidak pernah mempermasalahkan fungsinya. Sementara sekolah pendidikan senirupa (lukis) baik tingkat akademi maupun jenjang yang lebih tinggi telah menghasilkan banyak lulusan, apresiasi pada seni fotografi dilakukan di klub klub khusus fotografi, diprakarsai oleh Salon fotografi Indonesia. Klub berkesan ekslusif dengan kecenderungan tableau yang aestetis dan sangat tehnis ini sedikit banyak telah melahirkankan jarak antara seni fotografi dengan dunia seni rupa dan bahkan dengan foto jurnalistik. Tapi sejujurnya klub klub ini dan lomba lombanya lah yang mengayomi apresiasi fotografi di Indonesia selama beberapa dasawarsa. Baru pada tahun 1992, mengantisipasi perkembangan dunia komersil, jurnalistik dan kemudian pada seni murni, sekolah pendidikan khusus fotografi dalam tingkat akademi dan lanjut hadir; IKJ dan ISI. Hampir pada saat yang bersamaan lahir Galeri Jurnalistik Antara yang kehadirannya berhasil melahirkan komunitas apresiasi fotografi yang cukup luas dan variatif. Agak lama kemudian Galeri komersil Cahya, yang mencoba melahirkan komunitas pasar fotografi di Indonesia, dan dipertengahan tahun ini, Galeri seni Octagon. Perlu dicatat juga bahwa di tahun 1992 atas prakarsa Jim Supangkat telah diadakan ada satu pameran yang berusaha menghadirkan serta menjembatani semua bentuk representasi, baik yang seni murni sampai pada seni terapan pada pameran JADEX bertempat di Jakarta Design Center. Pameran menghadirkan seni grafis murni maupun terapan, fotografi sampai lukis dan patung semua berdiri sejajar, satu sikap yang sangat progresif.

Sementara itu semenjak akhir tahun 1970’an memasuki 1980’an fotografi berkembang dengan maraknya dunia periklanan dan majalah wanita. Para jurufoto dianggap sebagai orang orang yang dapat memanifestasilkan kehendak biro iklan dan klien. Tehnik dan kreativitas mereka diiarahkan untuk mempengaruhi (manipulasi) calon konsumen dan pembentukkan citra wanita serta remaja Indonesia yang baru. Tampilannya pun sangat terbantu oleh perkembangan mutu cetak. Penyajian ini dominan pada media cetak dan terus berlangsung sampai saat memasuki era “reformasi”, dimana tiba tiba wereld aanschouwing kita berubah. Kini tiba tiba foto bergaya jurnalistik yang realistis sekaligus aestetis maupun sensasionil mendapat perhatian khusus, foto foto aksi dan “demo” selama beberapa waktu menjadi permintaan pasar dan memenuhi media masa.

Tentu saja dalam kurun waktu yang cukup panjang itu banyak jurufoto yang sempat mengekspresikan dirinya dengan media fotografi. Di bidang jurnalistik nama nama seperti Ed Zoelverdi, Kartono Riyadi, Rama Surya, Oscar Mathulloh (dan masih banyak lagi; Arbain Rambey, Julian S, Eriek P. untuk menyebut beberapa nama) tidaklah hanya menghadirkan foto tanpa pertimbangan pribadi. Karya karya mereka selain memiliki muatan berita tetapi juga sarat dengan pernyataan sikap dan aestetika khas perupa itu sendiri. Dodo Karundeng seorang jurufoto pewarta pada pamerannya sempat memprovokasi masalah otentitas dengan berkarya diatas karya jurufoto Isabel Waternaux, mengacu pada Duchamp; menganggap karya seni lain sebagai bahan “ready made” yang dapat direinterpretasikan dalam karya baru. Dibidang periklanan nama seperti Darwis Triadi telah memberi satu citra-imej khas pada visual estetika pencerminan dari kondisi social masyarakat mimpi zaman “pembangunan” sebelum krisis moneter. Sementara saya mencoba merekam dinamika dan alienasi aestetika fashion yang ambigu di zaman tersebut (sampai sekarang), hampir semua karya ditampilkan didalam media cetak yang ada. Di zaman itu juga, jurufoto Fendy Siregar dalam beberapa kesempatan pameran (antara lain Jadex dan Istiqlal) memperlihatkan alternatif altenatif bentuk representasi yang kontemporer dalam fotografi. Satu kejadian lain yang cukup berarti bagi fotografi (Indonesia) adalah pada Bienale Senirupa Kontemporer ke 9 di Jakarta (1993-4), lagi atas prakarsa Jim Supangkat, menyempatkan jurufoto yang kemudian menjadi kurator; Judhi Suryoatmojo dan jurufoto Tara Sosrowardoyo, untuk menghadirkan karya karyanya. Ditahun tahun selanjutnya Nico Dharmajungen, Ray Bachtiar secara rutin mengekspresikan diri dengan berpameran, walau sadar bahwa mekanisme apresiasi, baik dari segi informasi, wacana intelektuil apalagi pasar belum memadai. Hal lain yang tidak bisa dikesampingkan bahwa dalam waktu yang relatif singkat, era reformasi telah melahirkan banyak jurufoto muda yang berkarya dengan kecenderungan jurnalistik aestetis, seperti; Kemal Jufri, Igbal dan masih banyak lagi.

Disisi lain pada dunia senirupa tidak banyak perupa yang menggunakan fotografi seutuhnya, umumnya media fotografi digunakan sebagai perantara (pantograph) menuju karya akhir bergaya photorealism atau superrealism dari cat minyak atau akrilik diatas kanvas. F.X Harsono tercatat sebagai salah satu peruoa yang menggunakan media fotografi seutuhnya sebagai media ekspresi. Dalam penulisan tidak banyak yang membahas fotografi dalam wacana intelektuil. Menonjol adalah penulis Seno Gumira Adjie, meski berangkat dari disiplin sinematografi sangat baik dalam membuat foto, yang memudahkan Seno menulis tentang permasalahan berdasarkan pengalaman tehnis psikologis. Lagi kritikus senior Jim Supangkat pernah mengaitkan masalah representasi fotografi dan seni lukis, tetapi sayang tulisannya memang hanya teruntuk pameran lukisan saya (1997) yang kebetulan punya dua disiplin pendekatan seni. Dan tentu saja Yudhi Surjoatmojo, konsisten memperjuangkan fotografi sedari awal, memperjuangkan kredit jurufoto pada sisi foto di media masa dan juga hak cipta serta hak pakai foto yang sering disalah artikan5. Sementara para penulis dan pakar media khusus fotografi seperti Agus Tjahjono dan Leonardus meskipun sadar akan permasalahan masih dibebani masalah tehnis dan aestetis khas industri fotografi seperti penggunaan dan perkembangan tehnologi yang memang merupakan satu kebutuhan bagi masyarakat umum pencinta fotografi. Melihat situasi umum ini, haruslah disadari bahwa memang ada satu kesenjangan psikologis maupun historis antara (seni) fotografi dan senirupa di Indonesia. Sehingga tulisan tulisan yang tampak berusaha menjembatani keduanya, seperti usaha Rifky Effendi belum lama ini (Tantangan Fotografi dalam Era Rekayasa Digital), menjadi sangat berarti bagi perkembangan fotografi dalam kaitannya dengan senirupa.

Pada diskusi tentang Richter bertempat di Gallery I-See, Kurator dan kritisi Asikin yang baru kembali dari Helsinki melihat semarak pameran dari apa yang dinamakan sebagai Media Baru(New Media) dan menyatakannya sebagai tren di negara maju (catat juga bahwa di pelabuhan Helsinki terdapat toko fotografi-media visual elektronik professional bebas-bea terbesar di Eropa). Karya seni yang direpresentasikan dengan tehnologi baru; fotografi-digital imaging, media elektronis visual maupun non visual; suara. getar dan gerak, patut diantisipasi oleh perupa kita, meski representasinya bagi umum seringkali sulit untuk dihayati. Namun ada baiknya bila kita sadar bahwa segala bentuk manifestasi seni ini sesungguhnya sangat riel walau seolah tampak ilusif dan tehnis. Misalnya karya Gillian Wearing, instalasi pandang; Pandaemonium, London Festival of Moving Images. Seorang pemirsa semula akan mengalami sedikit kesulitan untuk dapat berkontemplasi didepan tiga layar dengan gambar gambar yang berubah ubah hampir setiap detik dengan suara (dan dengung) yang sekali kali berhenti6. Namun setelah beberapa saat ia akan sadar bahwa situasi ini sama dengan situasi ketika seorang berhadapan dengan televisi dengan remote controle ditangan, sebagai satu satunya alat perlawanan dari seorang pemirsa pada arus deras satu arah dari siaran televisi. Kita menjadi terkesima melihat penguasaan perupa secara psikologis tentang tehnologi itu sendiri dan menjadi engah bahwa bentuk manifestasi seni seperti ini akan lebih mudah dimengerti apabila kita berada dalam tingkat fikir yang sama dengan perupanya. Mengingatkan kita pada Pierre Bourdieu7 bahwa; karya seni hanya berarti dan menjadi interes bagi seorang yang memiliki kompetensi budaya, untuk membaca men de-kode, kode kode yang ada pada karya.

Sementara sistim digital yang memiliki kemudahan kerja dan manipulasi kreatif sempat menjadi masalah ketika majalah National Geographic menggeser letak pyramid agar sesuai tata letak ukuran sampul. Perdebatan sengit di redaksi terjadi oleh pernyataan masyarakat yang meragukan kredibilitas majalah akibat perubahan visual yang sekaligus adalah manipulasi pada realita. Padahal majalah ini merupakan majalah prestisius tentang alam dan realita!

Sekilas pada lahirnya inovasi dan kreativitas multi media maupun koreksi pada penggunaan digital, kita mungkin akan terperangah bagaimana ada satu pola inovasi dan koreksi yang seolah saling terkait. Namun bila kita mencoba memahami bahwa dalam masyarakat; metode produksi-ekonomi sebagai bangun bawah berperan menentukan bangun atas, akal dan teori. Untuk kemudian bangun atas mempengaruhi bangun bawah melanjutkan proses dialektikanya. Kita akan sadar bahwa; Media baru lahir dari metode produksi kapitalis industri informatika, manifestasi ekspresi individu yang khas; machinal tetapi sekaligus maya. Sedang kritik terhadap manipulasi juga lahir dari bakunya aturan dan integritas yang harus ada, satu etika untuk kelancaran sistem (kapitalisme).

Sungguh merupakan satu keadaan yang jauh dari kita khususnya dunia fotografi.

Ketika kekuatan fotografi menghadirkan realita masih tersendat oleh tabu.

Pernyataan individu dan identitas dalam potraiture saja masih menjadi masalah (Semua ingin tampak lebih cantik!). Kekuatan fotografi menghadirkan realita masih tertantang oleh norma norma dan perbagai pengertian tentang pornografi atau sangsi social (Saya mau diwawancara, tapi jangan di foto ya?).

Kehadiran tubuh sebagai manifestasi ekspresi diri masih dipertanyakan, hingga di Akademi pada penugasan membuat foto tentang tubuh, hampir semua menghadirkan secara fragmentaris tanpa kehadiran wajah8. Kenyataan kenyataan khas dunia periferi ini sedikit banyak mempengaruhi perkembangan fotografi. Tetapi bila kita mau mengacu pada teori bangun atas dan bawah tadi maka dalam masyarakat setengah tani setengah industri (atau semi feodal dan semi kapitalistis?) ini tentu ada berbagai metode produksi dalam masyarakat dan konskwensi logisnya adalah berlakunya berbagai persyaratan dan pemikiran oleh berbagai jenis hubungan, yang memiliki wilayah kantong budaya masing masing. Berlaku perbagai norma pada perbagai wilayah dan tentunya juga pada dunia fotografi kita. Sehingga memang ada wilayah wilayah “bebas” dengan audiens khusus, seperti Akademi maupun Galeri. Namun pada pertemuannya dengan masyarakat luas ia akan memasuki wilayah dengan konsensus yang beda, misalnya dunia penerbitan dan periklanan dengan batasan batasannya. Disini akan ada kekuatan saling mempengaruhi yang biasanya dimenangkan oleh fihak yang lebih besar wilayah hegemoninya. Tentu saja tidak berarti bahwa tidak ada kemungkinan seorang (individu) mencipta karya fotografi yang “real” atau karya berbasis “new media”, tetapi ini lebih dimungkinkan bila ia berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia centrum (dengan tatanannya). Ia juga lebih mudah dicerna dan di apresiasi oleh mereka yang berada dalam tatanan hubungan produksi yang cenderung maju, sehingga karya karya dalam bentuk ini akan seringkali terkesan elitis walau bukan demikian maksud sesungguhnya.

Melihat ini semua kita akan sadar bahwa pilihan fotografi sebagai pemenang pada ASEAN art awards tadi adalah hasil proses apresiasi yang cukup panjang. Dan menyikapi mosaik fotografi internasional maupun nasional ini sejujurnya, masih jauh lagi kita harus berjalan dengan segala rintangan dan godaannya (Bayangkan manipulasi gambar berita menggunakan kamera digital oleh media yang tidak memiliki etika). Satu etika baru harus ada dan hanya akan terbentuk bila ada tatanan produksi dan social yang nyata nyata mendukung dan sekaligus dapat mengkoreksi hadirnya bentuk seni rupa fotografi ini. Kita harus sadar dan siap bahwa sebelum fotografi dan “keunggulan” reproduksi -serta manipulasi digitalnya- ini dimengerti, diminati lalu beredar di pasar. Harus ada etika dan “fatsoen”; satu kesepakatan agar ia tidak tumbuh salah kaprah menjadi ajang jor joran serta manipulasi perdagangan benda seni yang memang sangat menggiurkan.

——————-

1 Penting untuk dapat membedakan pictorialis dengan salon oleh karena muatan latar belakang pemikiran yang sesungguhnya sangat bertolak belakang, tetapi oleh kata ”pictorial” maka seolah ia hanya mengutamakan estetika belaka.

2 Satu pameran yang unik “The Artist and the Camera” diadakan oleh kurator Dorothy Kosinski tentang pengaruh sudut pandang camera pada kerja para pelukis dari Degas sampai Picasso. Pameran membandingkan foto foto dari mana para pelukis mendapatkan inspirasi bentuk, dan karya akhirnya.

3Perupa dan penulis Daniel Buren (Function of the Museum;Theories of Contemporary Ary, 2nd ed. 1993) menyatakan bahwa sekarang ini Museum bertindak sebagai preservasi benda seni, menentukan idé dan memilih mana karya yang baik dan kemudian juga memilikinya. Dengan itu Museum berperan menentukan mana karya karya yang secara ekonomi (akan) sukses dan mana yang tidak. Museum juga berfungsi sebagai tempat lindungan karya yang sesungguhnya terisolir, lalu menjadikannya seolah ideal sekaligus ilusif menjauhkan karya dari situasi riel politik dan ekonomi.. Satu kritik terhadap kemapanan sistem Museum di Barat.

4 Richter dikenal dengan karyanya yang dibuat dengan cara reproduksi secara fotografis dari foto yang ada dimedia cetak, untuk kemudian diproyeksikan dengan memburamkan focus diatas kanvas, dilukis dan kemudian difoto kembali dengan menggunaan film slides (color transparencies) untuk akhirnya dicetak diatas kertas cibachrome (slides to print). Hasil cetak ini dinyatakan sebagai karya akhir.

5 Tulisan Yudhi Suryoatmojo; The Challenge of Space; Photography in Indonesia 1841-1999, merupakan salah satu kalau bukan satu satunya tulisan yang komprehensip mengenai perkembangan fotografi di Indonesia. Tulisan penting ini merupakan salah satu tulisan dalam buku “Serendipity: Photography, video, experimental film and multimedia installation from Asia”, JFAC, 2000.

6 Masih sehubungan dengan Museum, kritikus Rosalind Krauss (The Cultural Logic of the Late Capitalist Museum, Theories of Contemporary Art, 2nd edition,, 1993) menulis bahwa penyajian karya karya minimalis, telah mensubversi pasar benda seni dari “seni rupa yang orisinil” bergeser menjadi “museum industri”. Adanya perubahan perubahan dalam pemilihan benda seni, peletakkan dan pencahayaan buatan serta penonton yang lebih awam menjadikan suasana interaksi “hyperspace” palsu yang lebih dekat pada Disneyland dan menjauh dari konteks museum yang tradisionil.

7 Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste; Introduction. Routledge&Kegan Paul Ltd, 1984

8 Tentang kemampuan melanggar tabu ini S.S.Wijatmika seorang jurufoto muda membuat peliputan pelacuran remaja di Jakarta. Karya karyanya otentik dan berhasil merekam perubahan moral secara riel. Sayang bahwa karya karya ini hanya sempat dipamerkan satu kali (Galeri Nasional, 1998) dan tidak mendapatkan liputan yang sepatutnya. Karya karyanya kemudian ada yang digunakan UNICEF.

* Tulisan ini diposting atas persetujuan dan izin dari penulis yang bersangkutan.

June 3, 2013

RIUNG SINEMA #9 – Pemutaran Film : “The Year of Living Dangerously”..{CLOSED}

Riung Sinema #9

air foto network mengundang sahabat untuk hadir di program

RIUNG SINEMA #9
Pemutaran Film Fotografi

FILM
The Year of Living Dangerously

SINOPSIS SINGKAT
The Year of Living Dangerously adalah film drama romantik buatan Australia yang menceritakan kisah petualangan seorang wartawan Australia yang ditugaskan meliput situasi di Jakarta/Indonesia pada tahun 1965, sebelum hingga saat G30S. Karya layar lebar ini didasarkan pada novel Peter Koch berjudul sama dan disutradarai oleh Peter Weir, berkewarganegaraan Australia, dan dirilis pada tahun 1982.Film ini dibintangi oleh artis-artis terkenal seperti Mel Gibson (sebagai Guy Hamilton), Sigourney Weaver (sebagai Jill Bryant), dan Linda Hunt (sebagai Billy Kwan). Melalui perannya di film inilah Mel Gibson terangkat namanya di panggung sinema dunia. Aktris Linda Hunt, yang berperan sebagai kontak Guy Hamilton, dianugerahi penghargaan untuk Aktris Pendukung Terbaik pada Perayaan Academy Award tahun 1983. Ini adalah Piala Oscar pertama yang diberikan kepada pemain yang berperan alih kelamin karena Linda Hunt memerankan tokoh pria. Peran Sukarno dilakonkan oleh Mike Emperio. Pembuatan film ini dilakukan di Filipina, setelah sebelumnya permohonan untuk syuting di Indonesia tidak dikabulkan. Judul film, The Year of Living Dangerously, merujuk pada judul pidato kenegaraan Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1964, “Tahun Vivere Pericoloso”, yang dikenal dengan singkatan TAVIP. Ungkapan bahasa Italia vivere pericoloso berarti “hidup dalam situasi berbahaya”. Oleh pemerintahan Orde Baru film ini dilarang beredar di Indonesia karena dianggap menggambarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan sejarah. Di dalam film ini terdapat adegan penembakan massal yang dilakukan oleh sepasukan tentara berbaret merah. Larangan ini dicabut pada tahun 1999, setelah rezim Orde Baru berakhir.

WAKTU
Sabtu 15 Juni 2013
Pukul 15.00 s/d selesai

TEMPAT
AP Photo Library
Surapati Core M32 Lt 1
Bandung

KETERANGAN
* Untuk keperluan pendataan, bagi peserta yang ingin mengikuti program ini dimohon untuk mem-follow & mention twitter air foto network (@airfotonetwork) dengan cara menuliskan nama lengkap, kota & mencantumkan hashtag #RiungSinema9
Contoh : Superman, Bandung  | @airfotonetwork | #RiungSinema9

TENTANG PROGRAM
Riung Sinema adalah sebuah program pemutaran film-film perihal fotografi, film-film yang menecritakan tokoh fotografer dan film-film yang memiliki kekuatan visual karya sutradara ternama di dunia seperti Martin Scorsese, Akira Kurosawa, Oliver Stone, Steven Spielberg, Woody Allen, Stanley Kubrick, Francis Ford Coppola, David Linch, Joel & Ethan Coen, Steven Soderberg, Quentin Tarantino, Ang Lee, Wong Kar-Wai, dan lain lain. Setelah para partisipan melihat & menyimak film tersebut secara bersama-sama, program ini kemudian dilanjutkan dengan dialog dan diskusi interaktif yang melibatkan audience tentang isi, makna & kajian visual yang dihadirkan pada film tersebut. Program ini diprakarsai oleh air foto network yang bertujuan untuk menggali dan memperdalam wawasan visual yang didapat dari sebuah film dan kemudian mampu diterapkan ke dalam disiplin fotografi.

GRATIS!!!

Mengalir sampai jauh…

INFO LANJUT
air foto network
agensi, edukasi & manajemen fotografi
surapati core blok m32
jl. phh. mustofa 39 bandung 40192
telp. +62-22-87242729
airfotonetwork@gmail.com
facebook / air foto network
twitter @airfotonetwork
http://www.airfotonetwork.com