RIZA MARLON MELAWAN
Oleh Galih Sedayu
Seribu Riza Marlon tidak akan pernah bisa untuk dapat merekam seluruh kehidupan alam & satwa liar di indonesia. Meski begitu, pendokumentasian tersebut harus tetap kita lakukan.
– Riza Marlon –
Indonesia adalah negara yang menempati urutan kedua terbesar di dunia setelah Brasil dalam hal biodiversity atau keanekaragaman hayati. Meski pendapat ini rasa-rasanya perlu dikaji kembali karena berdasarkan faktanya, sebagian besar masyarakat masih belum sepenuhnya mempercayai tingkat validitas dan akurasi dari data yang dihasilkan oleh penelitian tersebut. Bahkan bukan tidak mungkin sebenarnya Indonesia bisa menempati posisi teratas di planet bumi ini dalam hal kekayaan alam dan keanekaragaman hayati tersebut. Nature & Wildlife Photography. Tema inilah yang diangkat dalam sebuah presentasi & dialog ringan pada sebuah program fotografi yang bernama Bukutulis (Bedah Buku Fotografi & Temu Penulis) yang digagas oleh APC Institute. Program Bukutulis #2 ini diselenggarakan pada tanggal 4 Februari 2012 di jalan RE.Martadinata No 48 Bandung atas bantuan dan kerjasama Goethe-Institut. Program ini dibuat sekaligus mengisi rangkaian kegiatan “Deutscher Fotobuchpreis 2011”, sebuah pameran buku fotografi terbaik karya para fotografer jerman yang berlangsung sejak tanggal 17 Januari hingga 11 februari 2012. Riza Marlon, seorang fotografer wildlife Indonesia yang telah sukses menerbitkan buku fotografi “Living Treasures of Indonesia”, didaulat untuk menjadi tamu undangan dan nara sumber guna mengupas habis segala hal yang ada di dalam buku tersebut. Sebagai informasi, buku ini merupakan buku foto pertama yang pernah ada mengenai keanekaragaman hayati di Indonesia yang dibuat oleh seorang fotografer anak bangsa sendiri.
Riza Marlon adalah seorang pria sederhana kelahiran kota Jakarta pada tanggal 12 Januari 1960. Caca, begitu sebutan akrab Riza Marlon. Sesungguhnya Caca telah menekuni dunia fotografi sejak bangku SMA. Lalu kemampuan fotografinya semakin berkembang kala caca mengambil kuliah di Universitas Nasional (UNAS) Jakarta. Di kampus tersebut, Caca memilih fakultas biologi, sebuah bidang yang sangat sesuai dengan ketertarikannya pada dunia binatang sejak ia masih kecil. Pada saat itu Caca banyak bergabung dan mengikuti kelompok-kelompok yang berhubungan dengan kehidupan alam liar khususnya dunia binatang seperti kelompok burung, kelompok ular, kelompok primatologi, dan lain sebagainya. Pada saat awal Caca menggeluti dunia fotografi, ia sempat memotret pekerjaan komersil seperti foto produk & foto pernikahan untuk menambah biaya dan uang saku kuliahnya. Baru pada tahun 1990, caca memutuskan untuk mulai serius menekuni pekerjaan memotret binatang dan alam liar. Berbekal biaya sendiri yang sangat terbatas, caca mulai melakukan penjelajahannya di pulau-pulau Indonesia untuk merekam satwa liar. Setelah berkarir selama 20 tahun lebih lamanya, caca akhirnya berhasil membukukan hasil karya fotonya yaitu “Living Treasures of Indonesia” yang telah sukses diluncurkan pada tanggal 5 – 14 November 2011 di Jakarta.
Tepat pukul 15.00 WIB, caca membuka program bukutulis #2 ini dengan sebuah presentasi singkat mengenai nature & wildlife photography. Caca berujar bahwasanya ladang fotografi wildlife ini ibarat sebuah lahan yang kering. Karena secara umum bidang fotografi ini masih sangat jarang peminatnya. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti peralatan fotografi yang mahal, memerlukan fisik yang tangguh serta medan pemotretan yang sangat sulit dijangkau. Padahal caca melihat bagaimana sebenarnya negara Indonesia yang memiliki kurang lebih 17.000 pulau ini, memiliki aset alam & satwa liar yang sangat berharga. Namun demikian tidak banyak orang/individu dan kelompok dari bangsa kita yang mau melakukan sesuatu demi kelangsungan aset alam Indonesia tersebut. Caca mengungkapkan bahwa sebenarnya Indonesia banyak memiliki para ahli binatang tetapi sangat jarang dari mereka yang mengambil tindakan nyata untuk melindungi binatang-binatang tersebut dari kepunahan. Caca menyebutkan ada 4 kelompok satwa liar di Indonesia yaitu kelompok serangga, kelompok binatang menyusui (mammalia), kelompok reptile & amphibian (hervet), serta kelompok burung (aves). Kesemuanya itu tersedia di Indonesia dan menunggu sebuah pendataan visual yang lengkap. Oleh karena itu caca memilih untuk mencurahkan sebagian besar hidupnya dalam mendokumentasikan kehidupan satwa liar Indonesia yang sangat beragam tersebut.
Menurut caca, fotografi alam & satwa liar itu sangat erat hubungannya dengan berbagai hal yaitu kejujuran, menangkap momen & merekam sejarah alam (dokumentasi). Lalu caca memulai slide show karya foto satwa hasil bidikannya dan bercerita banyak tentang sejumlah pengalaman yang ditemui di lapangan. Misalnya saja ketika caca ikut memotret proses penangkapan gajah sumatera di alam liar yang diinisiasi oleh pemerintah setempat dengan maksud melindungi gajah-gajah tersebut dan menempatkannya di sebuah cagar alam. Karena di lapangan banyak cara-cara yang keliru ketika proses penangkapan dan penangkaran, akhirnya dari 13 ekor gajah yang berhasil ditangkap, 8 ekor diantaranya mati sia-sia sebelum sempat diselamatkan. Kemudian caca memperlihatkan foto-foto satwa liar seperti badak sumatra, babi rusa, ular pit-viper, julang Sulawesi, bondol jawa, cendrawasih papua, dan masih banyak lagi. Ada foto dan cerita menarik yang disampaikan oleh caca mengenai seekor burung yang bernama burung pintar. Menurutnya burung tersebut tidaklah menarik secara fisik. Tetapi keunikannya terletak ketika burung tersebut membuat sarang dengan diameter lebih kurang 1,5 meter yang dilakukannya selama 6 bulan. Dalam kurun waktu itu burung tersebut rajin mengumpulkan barang-barang apapun yang ditemuinya untuk kemudian dijadikan sarang. Dari mulai batu kerikil, ranting pohon, bahkan hingga bungkus indomie dan batu baterai ABC. Dengan tekun burung tersebut membawa satu persatu barang-barang yang tidak terpakai tersebut di dalam paruhnya sambil meloncat perlahan dan kemudian menjadikan sebuah sarang. Alasan burung pintar ini membuat sarang tersebut adalah untuk menarik lawan jenisnya sehingga pada saatnya nanti burung yang tertarik itu akan dikawininya. Sangat terbayang alangkah uletnya usaha burung pintar ini untuk mencari pasangan dan niat besarnya untuk kawin. Setelah itu caca melanjutkan presentasinya mengenai berbagai ancaman terhadap alam dan flora fauna di Indonesia. Dari mulai pembukaan lahan untuk perkebunan hingga perburuan satwa liar yang tidak terkendali. Dalam foto-foto tersebut kita bisa melihat berbagai peristiwa yang mengkhawatirkan seperti binatang kera yang diburu di Sulawesi, berbagai ular sanca yang dikuliti, dan masih banyak lagi.
Setelah sesi presentasi mengenai nature & wildlife photography, caca mempersilahkan para peserta bukutulis untuk bertanya. Pertanyaan pertama yang dilontarkan yaitu mengenai hal apa yang dilakukan caca ketika mengetahui bahwasanya ada ancaman terhadap alam & kehidupan satwa liar di Indonesia. Lalu caca bercerita pengalaman masa mudanya ketika masa kuliah. Pada saat itu caca bersama dengan para sahabatnya kerap sekali melakukan pengaduan dan laporan baik secara lisan maupun tertulis mengenai berbagai pelanggaran dan pengrusakan terhadap alam yang mereka temui di lapangan. Hasilnya? Tak ada, menurut caca. Pemerintah maupun instansi terkait biasanya tidak bereaksi dan mengambil tindakan nyata terhadap semua laporan yg telah diterima oleh masyarakat. Hingga akhirnya caca pun kesal dan merasa letih dengan semuanya serta kemudian mengambil sikap untuk melawan itu semua melalui fotografi. Bagaimanapun juga kita harus mengakui bahwa perlawanan caca mengenai ancaman terhadap alam & kehidupan satwa liar yang dituangkan ke dalam bentuk buku fotografi “Living Treasures of Indonesia” terbukti cukup efektif. Bahkan Museum Library salah satu perpustakaan terbesar di dunia yang ada di inggris mengajukan permohonan untuk mengkoleksi buku foto karya Riza Marlon tersebut. Ironisnya, museum arsip nasional Indonesia belum pernah sekalipun menghubungi caca untuk mendapatkan buku foto tersebut. Padahal apabila pihak museum arsip nasional Indonesia memintanya, caca berniat untuk memberikan beberapa buku fotonya secara cuma-cuma.
Pertanyaan selanjutnya yang dilontarkan salah satu peserta lebih bersifat teknis. Merek kamera apa yang digunakan oleh caca untuk merekam foto-foto satwa liar tersebut. Lalu caca berujar bahwa ia tidak fanatik terhadap merek kamera tertentu. Karena caca pun pernah menggunakan kamera dari segala merek ketika memotret di lapangan. Yang terpenting adalah hasil akhir berupa karya foto terbaik yang kita miliki ujarnya. Lalu caca pun mengambil contoh bahwa sekitar tahun 2007 ada sebuah lembaga yang membuat program pendokumentasian perburuan ikan paus yang dilakukan oleh para nelayan lamalera di Nusa Tenggara Timur. Yang ditugaskan untuk memotret peristiwa perburuan ikan paus tersebut adalah para penduduk setempat dan nelayan lamalera. Mereka diberikan pinjaman kamera saku/poket untuk mendokumentasikan segala kegiatan perburuan ikan paus tersebut selama 7 bulan dimana sebelumnya caca memberikan pelatihan fotografi singkat kepada mereka. Ternyata hasilnya di luar dugaan. Foto-foto yang mereka rekam banyak memiliki kualitas yang baik meski mereka sebenarnya bukanlah fotografer profesional. Jadi menurut caca bahwa kamera itu adalah alat sehingga bukan menjadi kendala untuk memotret sesuatu yang kita senangi.
Kemudian beberapa pertanyaan tentang bagaimana pasar fotografi wildlife di indonesia, proses-proses apa yang dilakukan sebelum pemotretan, foto apa yang paling membuat caca terkesan hingga masalah ijin & copyright mengenai pemotretan satwa liar, diajukan oleh beberapa penanya dalam sesi tanya jawab. Caca pun menjawab satu per satu segala pertanyaan yang diajukan itu dengan sabar. Untuk masalah pasar fotografi wildlife, ia menyebutkan bahwa pasarnya masih terbuka lebar. Biasanya perusahaan-perusahaan asing maupun lokal, LSM dan biro foto di Indonesia membutuhkan sejumlah foto satwa liar baik itu untuk keperluan kartu pos, kalendar tahunan dan lain-lain. Sehingga caca menjadikan peluang itu semua menjadi bisnis penyewaan stok foto. Caca membaginya ke dalam kelas-kelas tertentu dengan harga sewa yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesulitan memotret, kelangkaan obyek, & sistem sewa. Pada umumnya caca hanya memberikan hak pakai kepada para penyewa foto selama kurun waktu tertentu, bukan memberikan seluruh hak cipta karyanya (copyright). Caca pun bercerita bagaimana pentingnya sebuah riset dan pengumpulan informasi yang dilakukan sebelum pemotretan. Sehingga dengan modal yang ada, caca bisa secara optimal mendapatkan karya foto sesuai yang diinginkannya. Caca juga bercerita tentang salah satu pengalaman yang mengesankan ketika ia mendapat penugasan untuk memotret burung cendrawasih di papua. Untuk memotret burung cendrawasih yang sedang menari, caca musti mendaki gunung selama 24 jam lamanya pada ketinggian 2000 meter.
Setelah sesi tanya jawab tentang nature & wildlife photography selesai, caca memaparkan tahapan-tahapan mengenai proses pembuatan buku dari mulai pengumpulan data & foto, seleksi/kurasi foto, proses layout buku, penulisan teks, pembuatan contoh buku (mock up), pencarian sponsor, pengurusan ISBN dan ijin penerbitan, hingga proses proof print & proof reader sebelum kemudian buku tersebut dicetak. Buku foto karya caca ini dibuat dengan edisi bahasa inggris dan disusun berdasarkan pola sebaran bio-geografi yang menyangkut kehidupan satwa liar di Indonesia. Sebenarnya wacana untuk menerbitkan buku foto ini sudah muncul 2 tahun sebelum buku tersebut diluncurkan. Tetapi pada pelaksanaannya, caca mengalami kesulitan untuk mencari penerbit yang bersedia untuk mencetak bukunya. Padahal karya foto dan desain bukunya sudah ada dan tinggal siap untuk dicetak.Namun tetap saja banyak penerbit yang tidak percaya bahwa buku semacam ini bisa laku di pasaran. Akhirnya caca memutuskan untuk menerbitkan sendiri buku fotonya. Kegigihan caca selanjutnya bertemu dengan sebuah kesempatan besar. Salah satu pemilik percetakan ternama di Jakarta (Indonesia Printer) akhirnya bersedia membantu caca dengan mencetak buku fotonya meski sistemnya caca harus berhutang. Padahal waktu itu caca sudah menentukan tanggal dan membuat publikasi tentang peluncuran buku fotonya. Karena waktu yang sangat singkat dan usaha caca untuk mendapatkan uang untuk biaya cetak sekitar 250 juta rupiah tidak membuahkan hasil, akhirnya caca bersedia menerima tawaran tersebut. 3 jam sebelum peluncuran bukunya, caca hanya membawa 5 buah buku, sementara proses pencetakan buku foto tersebut masih berjalan . Tepat saat buku fotonya diluncurkan akhirnya sekitar 150 buah buku dikirimkan dari tempat percetakan ke tempat pameran foto berlangsung. Meski sebenarnya jumlah buku foto yang dicetak oleh caca secara keseluruhan sebanyak 1000 buku. Walaubagaimanapun, caca menyadari dan memaklumi situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Sebulan kemudian ternyata caca mampu melunasi hutangnya kepada pihak percetakan dari uang hasil penjualan bukunya.
Saat ini caca pun merasa sedikit lebih tenang sambil tetap berkarya untuk membuat buku foto selanjutnya. Di penghujung perbincangan, caca pun berkata bahwa ia mensyukuri segala jerih payahnya dalam hidup sehingga mampu melalui 2 buah momen terbesar yang ia alami. Momen yang pertama adalah ketika ia berhasil lulus kuliah di Universitas Nasional Jakarta dengan segala upaya dan daya juangnya. Seperti yang ia ceritakan bahwa pada saat kuliah ia mengalami berbagai hal yang sulit dari mulai mencari uang dengan memotret untuk membiayai kuliahnya hingga harus hidup dengan berpindah dari kost-an teman yang satu ke kost-an teman yang lain bak kaum nomaden. Lalu momen kedua adalah terwujudnya cita-cita untuk menerbitkan buku foto karyanya sendiri. Dari semua cerita yang ia sampaikan, setidaknya kita semua mendapat pelajaran berharga dari seorang Riza Marlon bahwa kecintaan, totalitas dan keyakinan pada akhirnya dapat membawa kita ke jalan yang dituju. Dan caca membuktikan semuanya itu kepada kita agar kelak ada orang yang meneruskan jejak perlawanannya terhadap ancaman bagi kehidupan flora fauna di Indonesia melalui fotografi. Demi sebuah hembusan nafas yang selalu ditiupkan oleh alam dan satwa liar di bumi pertiwi ini.

















(c) apc institute – 2012