Sampurasun…
Air Foto Network {AFN} mengundang para sahabat untuk berkenan hadir dalam kegiatan
Nongkrong Vol. 10
Ngumpul + Ngobrol Fotografi
Narasumber
Deni Sugandi
Profil Singkat
Lahir & besar di Kota Bandung, 23 Oktober 1972. Terpikat keajaiban di kamar gelap, kemudian terjerumus dalam fotografi tahun 1993. Lulusan sarjana Sastra Unpad tahun 1991, aktif sebagai instruktur di beberapa lembaga kursus dan pengajar fotografi di lingkungan kampus sebagai dosen luar biasa. Saat ini menjadi editor dan fotografer minat kebumian di majalah geologi populer Geomagz & Buletin Geologi Tata Lingkungan, serta publikasi kebumian Badan Geologi KESDM, duduk sebagai editor fotografi. Berprofesi fotografer bersertifikat dan mengelola perjalanan wisata fotografi kebumian dan budaya geotrip.asia.
Tema
Bedah Buku Foto
NUSA NIPA ; Langlang Mata Sunda Kecil
Pengantar
Dalam suatu kesempatan, saya pernah terlibat dengan perbincangan yang sebenarnya tidak penting-penting amat, menyoal lagu nasional Dari Sabang Sampai Merauke gubahan R. Soerardjo. Judul lagu tersebut seharusnya dimulai dari Merauke sampai ke Sabang, bukan sebaliknya terang sahabat saya dari Merauke. Karena matahari terbit dari timur, maka kamilah yang pertama kali disapa sejarah, ungkapnya.
Pemikiran tersebut mengantarkan saya melakukan perjalan selama satu bulan lebih, menapaki kepulaun Sunda Kecil. Gugusan kepulauan yang terletak di bagian tengah Indonesia, tersebar sepanjang 2.850 km dari timur ke barat. Dipagari di sebelah timur oleh pulau Jawa, dan di sebelah barat berbatasan dengan kepulauan Banda. Di utara dilingkari oleh Laut Flores dan di Samudera Hindia pembatas wilayah bagian selatan. Secara fisiografis kepulauan ini berada pada Busur Banda, dibentuk oleh pegunungan vulkanik muda, yang dibangun oleh pertemuan lempeng zona subduksi Indo-Australia pada kerak samudera, dan diintepretasikan kedalaman magmanya kurang lebih 165-200 km (Hamilton, 1979). Karena kedudukannya diantara persimpangan tiga lempeng tektonik; Asia, Australia dan Pasifik menyebabkan rupa buminya unik, dan hingga kini proses pembentukan pulau-pulau masih berlangsung, mempengaruhi ukuran dan posisi.
Rupa bumi demikian membentuk sejarah budaya yang beragam. Keberadaan kerajaan-kerajaan dituliskan dalam sumer kitab Kertagama, menyebutkan keberadaan pemerintahan yang mencakup pulau Adonara, Solor, Lembata dan Alor. Penelitian tersebut kemudian diungkap kembali oleh Petu Saren Oring Bao menyebutkan nama Flores adalah Nusa solot atau Soor dalam catatan Nusa Nipa Warisan Purba, 1969 (Lintasan Linguistik Nama Suku-Suku). Jalur perdagananlah yang secara drastis membentuk budaya baru, pertemuan dan asimilalsi sejak awal abad ke-16.
Disebut Nusa Nipa, penyebutan awal sebelum Portugis menamai Cabo das Flores atau Tanjung Bunga. Kepulauan ini seperti rangkaian naga yang memanjang timur ke barat, dirangkai oleh gunung api umur kuarter diantarnya gunung Tambora yang pernah meletus dahsyat, mengubah perjalanan sejarah dunia, jalur perdagangan rempah-rempah dan Cendana, hingga kelahiran Pancasila di Ende.
“Perlu waktu yang lama, untuk menelusuri Flores” ujar Ambo Kerans, sahabat saya di Larantuka. Memang benar, Flores terlalu besar untuk waktu yang sesempit ini, dibutuhkan waktu yang tidak terhingga untuk menyelami lebih lengkap. Perjalanan dimulai dari Bali, Lombok, Sumbawa Besar, Flores, Timor dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, disingkat Flobamora. Untuk di wilayah NTT terdapat 1.192 pulau kecil, dan 760 pulau diantaranya belum memilki nama.
Dalam ziarah mata ini saya berkesempatan merekam khasanah etnis, walaupun hanya dipermukaan saja, tetapi saya cukup bersentuhan langsung. Dalam catatan entografi ada 16 suku yang mendiami beberapa wilayah Nusa Tenggara Timur, diantaranya suku Gelong, Dawan, Tetun, Kemak, Marae untuk di wilayah pulau Timor. Suku Sabu atau Rae Havu, Sukba di pulau Sumba, dan di Flores tengah hingga barat diantanya suku Manggarai Riung, Ngada, Ende Lio, Sikka-Krowe Muhang. Suku yang menempati bagian timur termasuk Adonara, Solor dan sebagian pulau Sembara adalah suku Lamaholot. Di Lembata dikenal suku Kedang, Labala, dan ujung selatan Lembata adalah suku Labala. Di pulau Alor dan Pantar adalah suku Alor Pantar.
Penulisan buku ini dikelompokan menjadi tiga tema besar, mengupas tengan warisan rupa bumi dan kekayaan alam, rangkaian gunung-gunung api di sepanjang kepulauan Sunda Kecil, dan bab ketiga mengupas warisan budaya megalitik hingga asimilasi budaya, kelompok etnis yang mediami lereng-lereng gunung api, dataran tinggi hingga tepian pantai. Di segmen terakhir saya menyisipkan tulisan kebangsaan, saat Soekarno dikucilkan dari lingkungan politiknya 1934-1938. Perenungan di Ende mengantarkan bapak proklamator ini menyusun lima tuntunan dasar bernegara, kemudian dibacakan di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, 1 Juni 1945.
Semoga kisah kompilasi visual fotografi Langlang Mata Sunda Kecil ini bisa bermanfaat bagi siapa saja, untuk memberikan pemahaman, tentang keragaman etnis-budaya, manusia dan warisan alam yang wajib dimengerti, tentang indentitas Indonesia yang majemuk.
Tempat
Perpustakaan Kecil AFN
Komplek Surapati Core Blok M32
Jalan PHH. Mustofa 39
Bandung 40192
Waktu
Jumat 20 Januari 2017
Pukul 15.00 – 17.00 WIB
Pendaftaran
Acara ini gratis namun peserta wajib mendaftarkan diri terlebih dahulu dengan mengisi formulir ini >> http://bit.ly/nongkrongAFN
Keterangan
* Silakan mem-follow twitter & instagram Air Foto Network (@airfotonetwork), bergabung menjadi anggota grup facebook Air Foto Network >> http://on.fb.me/13xSe5h , serta menge-like fan page facebook Air Foto Network >> http://on.fb.me/NdGD2h
* Dimohon membawa tumbler atau tempat minum masing-masing
Media Partner
Bandungnewsphoto.com & APFI Magz
#AFN
#Nongkrong
#NgumpulNgobrolFotografi
Info
Air Foto Network {AFN}
Photography Service & Collaboration
Surapati Core Blok M32
Jl. PHH. Mustofa 39 Bandung 40192
Ph. +62-22-87242729
Email : airfotonetwork@gmail.com
Facebook : air foto network
Twitter : @airfotonetwork
Instagram : airfotonetwork
Website : airfotonetwork.net
Leave a Reply